Aku
tinggal bersama ayah dan ibu di sebuah rumah yang berlokasi di daerah
kota sebelah utara. Teman-teman yang pernah berkunjung selalu
menyebutnya villa. Tentu saja hal tersebut tidak tepat karena rumahku
bukan terletak di luar kota, terpencil atau di tengah kebun pegunungan.
Itu hanyalah rumah biasa yang berada di tengah kota yang ramai dilalui
kendaraan-kendaraan. Namun demikian penyebutan villa
mungkin masuk akal
juga mengingat kota bagian utara berada di dataran tinggi di kaki
gunung. Jadi walau bukan benar-benar tempat rekreasi atau bersantai,
setidaknya masih dapat merasakan suasana pegunungan.
Rumahku
berdiri tepat di pinggir jalan raya. Dahulu lokasi ini sangat sunyi dan
tenang. Kendaraan yang melintas utamanya adalah sepeda, becak dan
delman. Seiring dengan perkembangan kota yang terus meningkat. Jalanan
pun kini riuh dengan deru mesin kendaraan-kendaraan bermotor. Suasana
rumah tak lagi tenang dikepung kebisingan. Bahkan kami sering merasakan
rumah bergetar karena gempa kecil saat truk atau bus besar melintas.
Rasanya seperti gempa bumi setiap hari. Awalnya aku panik karena mengira
itu gempa bumi sungguhan tapi semakin lama semakin terbiasa. Aku
khawatir ini mengurangi responku jika terjadi gempa bumi yang
sebenarnya. Bisa-bisa aku malah bersantai nonton tv ketika orang lain
lari menyelamatkan diri. Meski demikian, masih sering kujumpai saat-saat
jalanan sepi kendaraan, utamanya di malam hari. Ketika kala-kala itu
mengembalikan kembali suasana asli pegunungan, tetapi di saat yang sama
justru membuatku sedikit bergidik, entah kenapa.
***
Hampir satu bulan ini hujan terus mengguyur dengan intensitas yang cukup
lebat. Hal ini membuat suhu udara yang di hari biasa saja sudah sejuk
kini semakin dingin. Sebuah situasi yang meningkatkan rasa malas untuk
beraktivitas keluar rumah. Aku sendiri lebih memilih diam di kamar
sepulang sekolah atau di hari libur karena tidak ada kegiatan lain yang
lebih menyenangkan selain merebahkan badan di atas tempat tidur sambil
berbalut selimut hangat.
Kontur jalan di depan rumah yang
menanjak menjadikannya sungai kecil di kala hujan. Air mengalir turun di
atas permukaan jalan dari kaki gunung menuju pusat kota di bawah.
Secara perlahan-perlahan menggerus kulit aspal hingga terkelupas. Pada
ruas jalan tepat di depan rumah, sebuah lubang kecil terbentuk.
Lubang kecil itu masih berupa cekungan dangkal. Sekilas tak dapat
ditemukan hanya dengan melihatnya tetapi dapat dirasakan jika
melindasnya. Itu seperti bagian permukaan aspal yang tenggelam lebih
rendah dari sekitarnya.
Suara berdebam selalu terdengar ke
dalam rumah setiap kali lubang itu terlindas roda kendaraan. Bahkan
terdengar lebih keras disertai guncangan kecil jika kendaraan berat
seperti truk atau bus yang melindasrnya. Tentu saja hal tersebut sangat
mengganggu kenyamanan dan ketenangan rumah kami terutama di malam hari.
Ayah berencana akan mengadukannya pada aparat pemerintah daerah pada
keesokan hari namun suatu hal terjadi lebih cepat dari prediksinya.
Suara benturan yang sangat keras terdengar membelah malam yang tenang
di hari yang sama, diikuti oleh dentingan-dentingan lain seperti
potongan-potongan besi yang jatuh berserakan di jalan. Aku yang berusaha
tidur dibuat bangun kembali olehnya. Dipenuhi rasa ingin tahu, aku
bergegas keluar kamar dan mendapati ayah berjalan sigap menuju pintu
keluar. Saat kami bertemu, ia menyuruhku masuk kembali dengan
mengayunkan lengan yang memegang senter. Aku menolaknya. Mataku sudah
terbuka lebar untuk kembali tidur jadi kuputuskan untuk mengikuti ayah
keluar rumah untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ia tampak tak
keberatan.
Situasi terasa semakin tegang dan mencekam. Aku bisa
mendengar suasana di luar mulai riuh dipenuhi teriakan-teriakan
tetangga. Aku menangkap ucapan mereka yang memberitahukan bahwa
kecelakan telah terjadi dan mereka benar.
Keluar dari rumah,
kami disambut pemandangan mengenaskan. Sebuah sepeda motor tergeletak
melintang di tengah jalan. Bagian depannya ringsek cukup parah.
Pecahan-pecahannya berserakan di jalan. Sementara itu sang pengendara
ditemukan terkapar tak jauh dari motornya. Tubuhnya setengah
tertelungkup. Tangannya terpelintir ke arah yang salah dan helmnya
seperti batok kelapa yang diparut. Namun sungguh beruntung ia masih
hidup.
Mengetahui si pengendara selamat, warga bersemangat
mengevakuasi tubuhnya ke salah satu rumah yang terdekat dan memanggil
ambulans. Sementara sebagian lain mengamankan motor dan membersihkan
puing-puingnya yang berserakan di jalan. Aku sendiri hanya bisa
memperhatikan saja sejak semua tugas telah dilakukan orang-orang dewasa.
Karena tak ada sesuatu yang kulakukan, kuputuskan untuk masuk kembali
ke rumah dan melanjutkan tidur.
Sebelum berbalik meninggalkan
jalan, aku berhenti sejenak memperhatikan lubang yang diduga kuat
menjadi penyebab kecelakaan. Tanpa disadari, lubang yang semula hanya
cekungan dangkal kini semakin dalam seperti kawah di permukaan bulan.
Aku bahkan tak dapat melihat dasarnya karena terisi oleh air yang gelap.
Tak heran jika pengendara motor tersebut terjungkal menabraknya. Lubang
seperti itu bahkan dapat membuat kerusakan pada mobil yang melibasnya.
Memperhatikan lubang tersebut, aku menemukan sesuatu yang berwarna
terang di pinggirnya. Itu adalah salah satu tuas rem tangan motor. Dapat
dipastikan ini milik pengendara naas tersebut dan sepertinya tercecer
saat beberapa warga membersihkannya.
Khawatir menjadi penyebab
masalah lain, aku tak membiarkannya tergeletak begitu saja di jalan. Aku
berniat mengambilnya untuk diamankan. Namun saat aku meraih tuas rem
itu, aku tak dapat mengangkatnya. Kupikir tidak ada masalah dengannya.
Itu hanyalah potongan besi yang cukup ringan tetapi ada sesuatu yang
menahannya dan itu membuatku terkejut hingga tak bisa bergerak.
Ada tangan lain yang ikut memegang benda itu. Lengan yang basah dan
berlumuran lumpur gelap. Ketika aku hanya bisa menggerakkan kedua bola
mataku menelusuri siapa pemilik lengan, kudapati ia bukan milik salah
satu warga di lingkungan ini. Lengan itu berpangkal dari dalam air di
dalam lubang.
Mendadak pikiranku menjadi kosong dan genggamanku
pada tuas rem menjadi longgar. Saat itu sang tangan misterius menarik
potongan besi itu dari tanganku dan membawanya ke dalam lubang berair
tersebut.
Aku jatuh terduduk ke belakang dalam keadaan
tercengang, tak siap menghadapi peristiwa ganjil di depan mata. Tuas rem
tersebut lenyap tak muncul lagi namun permukaan air di dalam lubang itu
beriak-riak hingga meluber. Kemudian tangan hitam menjijikan itu
kembali muncul.
Tanpa membawa apapun, ia timbul dari dalam air
untuk mendarat di permukaan aspal. Aku takut, sangat ketakutan hingga
sulit menggerakkan tubuh. Jantungku berdebar sangat kencang dan tak bisa
mengeluarkan suara kecuali rintihan lemah. Namun mataku tetap tertuju
pada lengan itu yang kini jari jemarinya mulai menggeliat-geliat.
Untuk beberapa saat, aku tak dapat menerka apa yang akan dilakukan
tangan itu sampai ketika jari-jari itu menekuk dan mengangkat tubuh
telapaknya dari permukaan aspal. Telapak tangan tersebut berdiri dan
kemudian masing-masing jari bergerak menariknya maju. Bagaikan laba-laba
raksasa, tangan itu berjalan merayap ke arahku. Aku benar-benar sangat
ketakutan dan jijik hingga lututku gemetar dan gigiku gemertak. Tangan
itu ingin meraihku. Dia ingin mengambil diriku dan menyeretnya ke dalam
lubang seperti tuas rem itu. Atau mungkin saja ia berusaha melakukan hal
yang sama pada pengendara motor itu sebelumnya.
Aku merangkak
mundur. Rumahku berada di belakang tapi terasa sangat jauh. Tangan itu
bergerak sangat cepat, lebih cepat dari pergerakanku. Aku ingin sekali
bangkit dan berlari tapi aku tak bisa melakukan hal itu saat ini. Tanpa
kusadari sang tangan berhasil meraihku. Kurasakan basah dan dingin saat
jari-jarinya menaiki kakiku dan ketika melewati mata kaki, tangan itu
membuka lebar, bersiap mencengkram.
Aku menutup mata, menjerit.
Tak bisa. Aku tidak bisa menjerit. Bukan jeritanku sendiri yang terdengar di telinga.
Seseorang memanggilku. Suaranya kukenali milik ayah. Ayah memanggilku.
Sensasi basah dan dingin di kaki hilang. Aku membuka mata dan menemukan
tangan misterius yang mengejarku lenyap entah ke mana. Tak hanya itu,
tuas rem yang tadi dibawa olehnya kini terlihat lagi di tempat yang sama
seperti pada saat kutemukan.Peristiwa yang baru saja kualami
seolah-olah tak pernah terjadi. Apa-apaan ini?
Ayah menghampiri
diriku. Saat berhasil untuk kembali berdiri, aku berlari padanya,
memeluk tubuhnya erat sambil menangis. Ayah yang tak tahu apa yang
kualami terus bertanya tentang apa yang terjadi tetapi aku tak dapat
menjawabnya. Semua ini datang bertubi-tubi hingga aku tak tahu harus
memulai dari mana atau kata-kata apa yang harus kuucapkan untuk
membuatnya percaya. Pada akhirnya kami kembali masuk rumah tanpa seorang
pun tahu tentang kemunculan sang tangan misterius dari lubang tersebut.
***
Beberapa hari berlalu sejak peristiwa kecelakaan di malam itu.
Pemerintah belum juga mengambil tindakan perbaikan jalan atas laporan
ayah. Lubang itu kini telah ditutupi oleh pasir dan batu-batu atas
inisiatif warga di lingkungan kami. Walau masih belum menyelesaikan
permasalahan sepenuhnya, paling tidak belum terjadi lagi kecelakaan
akibat lubang itu sampai saat ini. Di saat yang sama hujan lebat pun
semakin jarang turun di daerah ini.
Aku telah mencoba
menceritakan fenomena ganjil yang kualami pada keluargaku. Reaksi mereka
tampak masih mengambang antara percaya dan tidak. Mungkin di satu sisi
mereka menganggap aku mengigau atau melamun dan di sisi lain, mereka
hanya ingin membuatku merasa senang dengan pura-pura percaya. Aku
sendiri pun hanya ingin melupakan peristiwa itu namun ternyata bukan hal
yang mudah.
Di beberapa malam terakhir, tepat di waktu yang
sama dengan saat kecelakaan itu terjadi, aku sering mendengar suara dari
balik pintu. Suara itu terdengar seperti seseorang melempar batu kecil
ke arah pintu. Saat aku membukanya, tak ada seorang pun di sana kecuali
batu-batu yang berserakan di lantai teras rumah dan cap telapak tangan
basah di dinding pagar depan.
Malam-malam berikutnya, lemparan
batu ke pintu terus terjadi tanpa pernah diketahui siapa pelakunya
hingga pada malam ini aku mendengar seseorang menekan bel rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar