Rabu, 11 Januari 2017

Lubang di Jalan

Aku tinggal bersama ayah dan ibu di sebuah rumah yang berlokasi di daerah kota sebelah utara. Teman-teman yang pernah berkunjung selalu menyebutnya villa. Tentu saja hal tersebut tidak tepat karena rumahku bukan terletak di luar kota, terpencil atau di tengah kebun pegunungan. Itu hanyalah rumah biasa yang berada di tengah kota yang ramai dilalui kendaraan-kendaraan. Namun demikian penyebutan villa
mungkin masuk akal juga mengingat kota bagian utara berada di dataran tinggi di kaki gunung. Jadi walau bukan benar-benar tempat rekreasi atau bersantai, setidaknya masih dapat merasakan suasana pegunungan.

Rumahku berdiri tepat di pinggir jalan raya. Dahulu lokasi ini sangat sunyi dan tenang. Kendaraan yang melintas utamanya adalah sepeda, becak dan delman. Seiring dengan perkembangan kota yang terus meningkat. Jalanan pun kini riuh dengan deru mesin kendaraan-kendaraan bermotor. Suasana rumah tak lagi tenang dikepung kebisingan. Bahkan kami sering merasakan rumah bergetar karena gempa kecil saat truk atau bus besar melintas. Rasanya seperti gempa bumi setiap hari. Awalnya aku panik karena mengira itu gempa bumi sungguhan tapi semakin lama semakin terbiasa. Aku khawatir ini mengurangi responku jika terjadi gempa bumi yang sebenarnya. Bisa-bisa aku malah bersantai nonton tv ketika orang lain lari menyelamatkan diri. Meski demikian, masih sering kujumpai saat-saat jalanan sepi kendaraan, utamanya di malam hari. Ketika kala-kala itu mengembalikan kembali suasana asli pegunungan, tetapi di saat yang sama justru membuatku sedikit bergidik, entah kenapa.

***

Hampir satu bulan ini hujan terus mengguyur dengan intensitas yang cukup lebat. Hal ini membuat suhu udara yang di hari biasa saja sudah sejuk kini semakin dingin. Sebuah situasi yang meningkatkan rasa malas untuk beraktivitas keluar rumah. Aku sendiri lebih memilih diam di kamar sepulang sekolah atau di hari libur karena tidak ada kegiatan lain yang lebih menyenangkan selain merebahkan badan di atas tempat tidur sambil berbalut selimut hangat.

Kontur jalan di depan rumah yang menanjak menjadikannya sungai kecil di kala hujan. Air mengalir turun di atas permukaan jalan dari kaki gunung menuju pusat kota di bawah. Secara perlahan-perlahan menggerus kulit aspal hingga terkelupas. Pada ruas jalan tepat di depan rumah, sebuah lubang kecil terbentuk.

Lubang kecil itu masih berupa cekungan dangkal. Sekilas tak dapat ditemukan hanya dengan melihatnya tetapi dapat dirasakan jika melindasnya. Itu seperti bagian permukaan aspal yang tenggelam lebih rendah dari sekitarnya.

Suara berdebam selalu terdengar ke dalam rumah setiap kali lubang itu terlindas roda kendaraan. Bahkan terdengar lebih keras disertai guncangan kecil jika kendaraan berat seperti truk atau bus yang melindasrnya. Tentu saja hal tersebut sangat mengganggu kenyamanan dan ketenangan rumah kami terutama di malam hari. Ayah berencana akan mengadukannya pada aparat pemerintah daerah pada keesokan hari namun suatu hal terjadi lebih cepat dari prediksinya.

Suara benturan yang sangat keras terdengar membelah malam yang tenang di hari yang sama, diikuti oleh dentingan-dentingan lain seperti potongan-potongan besi yang jatuh berserakan di jalan. Aku yang berusaha tidur dibuat bangun kembali olehnya. Dipenuhi rasa ingin tahu, aku bergegas keluar kamar dan mendapati ayah berjalan sigap menuju pintu keluar. Saat kami bertemu, ia menyuruhku masuk kembali dengan mengayunkan lengan yang memegang senter. Aku menolaknya. Mataku sudah terbuka lebar untuk kembali tidur jadi kuputuskan untuk mengikuti ayah keluar rumah untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ia tampak tak keberatan.

Situasi terasa semakin tegang dan mencekam. Aku bisa mendengar suasana di luar mulai riuh dipenuhi teriakan-teriakan tetangga. Aku menangkap ucapan mereka yang memberitahukan bahwa kecelakan telah terjadi dan mereka benar.

Keluar dari rumah, kami disambut pemandangan mengenaskan. Sebuah sepeda motor tergeletak melintang di tengah jalan. Bagian depannya ringsek cukup parah. Pecahan-pecahannya berserakan di jalan. Sementara itu sang pengendara ditemukan terkapar tak jauh dari motornya. Tubuhnya setengah tertelungkup. Tangannya terpelintir ke arah yang salah dan helmnya seperti batok kelapa yang diparut. Namun sungguh beruntung ia masih hidup.

Mengetahui si pengendara selamat, warga bersemangat mengevakuasi tubuhnya ke salah satu rumah yang terdekat dan memanggil ambulans. Sementara sebagian lain mengamankan motor dan membersihkan puing-puingnya yang berserakan di jalan. Aku sendiri hanya bisa memperhatikan saja sejak semua tugas telah dilakukan orang-orang dewasa. Karena tak ada sesuatu yang kulakukan, kuputuskan untuk masuk kembali ke rumah dan melanjutkan tidur.

Sebelum berbalik meninggalkan jalan, aku berhenti sejenak memperhatikan lubang yang diduga kuat menjadi penyebab kecelakaan. Tanpa disadari, lubang yang semula hanya cekungan dangkal kini semakin dalam seperti kawah di permukaan bulan. Aku bahkan tak dapat melihat dasarnya karena terisi oleh air yang gelap. Tak heran jika pengendara motor tersebut terjungkal menabraknya. Lubang seperti itu bahkan dapat membuat kerusakan pada mobil yang melibasnya.

Memperhatikan lubang tersebut, aku menemukan sesuatu yang berwarna terang di pinggirnya. Itu adalah salah satu tuas rem tangan motor. Dapat dipastikan ini milik pengendara naas tersebut dan sepertinya tercecer saat beberapa warga membersihkannya.

Khawatir menjadi penyebab masalah lain, aku tak membiarkannya tergeletak begitu saja di jalan. Aku berniat mengambilnya untuk diamankan. Namun saat aku meraih tuas rem itu, aku tak dapat mengangkatnya. Kupikir tidak ada masalah dengannya. Itu hanyalah potongan besi yang cukup ringan tetapi ada sesuatu yang menahannya dan itu membuatku terkejut hingga tak bisa bergerak.

Ada tangan lain yang ikut memegang benda itu. Lengan yang basah dan berlumuran lumpur gelap. Ketika aku hanya bisa menggerakkan kedua bola mataku menelusuri siapa pemilik lengan, kudapati ia bukan milik salah satu warga di lingkungan ini. Lengan itu berpangkal dari dalam air di dalam lubang.

Mendadak pikiranku menjadi kosong dan genggamanku pada tuas rem menjadi longgar. Saat itu sang tangan misterius menarik potongan besi itu dari tanganku dan membawanya ke dalam lubang berair tersebut.

Aku jatuh terduduk ke belakang dalam keadaan tercengang, tak siap menghadapi peristiwa ganjil di depan mata. Tuas rem tersebut lenyap tak muncul lagi namun permukaan air di dalam lubang itu beriak-riak hingga meluber. Kemudian tangan hitam menjijikan itu kembali muncul.

Tanpa membawa apapun, ia timbul dari dalam air untuk mendarat di permukaan aspal. Aku takut, sangat ketakutan hingga sulit menggerakkan tubuh. Jantungku berdebar sangat kencang dan tak bisa mengeluarkan suara kecuali rintihan lemah. Namun mataku tetap tertuju pada lengan itu yang kini jari jemarinya mulai menggeliat-geliat.

Untuk beberapa saat, aku tak dapat menerka apa yang akan dilakukan tangan itu sampai ketika jari-jari itu menekuk dan mengangkat tubuh telapaknya dari permukaan aspal. Telapak tangan tersebut berdiri dan kemudian masing-masing jari bergerak menariknya maju. Bagaikan laba-laba raksasa, tangan itu berjalan merayap ke arahku. Aku benar-benar sangat ketakutan dan jijik hingga lututku gemetar dan gigiku gemertak. Tangan itu ingin meraihku. Dia ingin mengambil diriku dan menyeretnya ke dalam lubang seperti tuas rem itu. Atau mungkin saja ia berusaha melakukan hal yang sama pada pengendara motor itu sebelumnya.

Aku merangkak mundur. Rumahku berada di belakang tapi terasa sangat jauh. Tangan itu bergerak sangat cepat, lebih cepat dari pergerakanku. Aku ingin sekali bangkit dan berlari tapi aku tak bisa melakukan hal itu saat ini. Tanpa kusadari sang tangan berhasil meraihku. Kurasakan basah dan dingin saat jari-jarinya menaiki kakiku dan ketika melewati mata kaki, tangan itu membuka lebar, bersiap mencengkram.

Aku menutup mata, menjerit.

Tak bisa. Aku tidak bisa menjerit. Bukan jeritanku sendiri yang terdengar di telinga.

Seseorang memanggilku. Suaranya kukenali milik ayah. Ayah memanggilku.

Sensasi basah dan dingin di kaki hilang. Aku membuka mata dan menemukan tangan misterius yang mengejarku lenyap entah ke mana. Tak hanya itu, tuas rem yang tadi dibawa olehnya kini terlihat lagi di tempat yang sama seperti pada saat kutemukan.Peristiwa yang baru saja kualami seolah-olah tak pernah terjadi. Apa-apaan ini?

Ayah menghampiri diriku. Saat berhasil untuk kembali berdiri, aku berlari padanya, memeluk tubuhnya erat sambil menangis. Ayah yang tak tahu apa yang kualami terus bertanya tentang apa yang terjadi tetapi aku tak dapat menjawabnya. Semua ini datang bertubi-tubi hingga aku tak tahu harus memulai dari mana atau kata-kata apa yang harus kuucapkan untuk membuatnya percaya. Pada akhirnya kami kembali masuk rumah tanpa seorang pun tahu tentang kemunculan sang tangan misterius dari lubang tersebut.

***

Beberapa hari berlalu sejak peristiwa kecelakaan di malam itu. Pemerintah belum juga mengambil tindakan perbaikan jalan atas laporan ayah. Lubang itu kini telah ditutupi oleh pasir dan batu-batu atas inisiatif warga di lingkungan kami. Walau masih belum menyelesaikan permasalahan sepenuhnya, paling tidak belum terjadi lagi kecelakaan akibat lubang itu sampai saat ini. Di saat yang sama hujan lebat pun semakin jarang turun di daerah ini.

Aku telah mencoba menceritakan fenomena ganjil yang kualami pada keluargaku. Reaksi mereka tampak masih mengambang antara percaya dan tidak. Mungkin di satu sisi mereka menganggap aku mengigau atau melamun dan di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku merasa senang dengan pura-pura percaya. Aku sendiri pun hanya ingin melupakan peristiwa itu namun ternyata bukan hal yang mudah.

Di beberapa malam terakhir, tepat di waktu yang sama dengan saat kecelakaan itu terjadi, aku sering mendengar suara dari balik pintu. Suara itu terdengar seperti seseorang melempar batu kecil ke arah pintu. Saat aku membukanya, tak ada seorang pun di sana kecuali batu-batu yang berserakan di lantai teras rumah dan cap telapak tangan basah di dinding pagar depan.

Malam-malam berikutnya, lemparan batu ke pintu terus terjadi tanpa pernah diketahui siapa pelakunya hingga pada malam ini aku mendengar seseorang menekan bel rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar