Kamis, 19 Mei 2016

I Regret Ever Working In The South Pole (part 1)






Aku bekerja di Kutub Selatan

Kedengarannya mungkin menarik, tapi pekerjaanku sangat sulit dan melelahkan. Kami dikirim ke tengah-tengah Antartika, dan dikelilingi ribuan mil salju serta es. Kami bekerja selama sekitar 18 jam sehari, dan waktu untuk bersantai sangat sedikit. Kami punya Wifi yang sangat lambat, tapi cukup untuk mencegahku jadi gila karena bosan. Tapi, yang jadi masalah bagiku bukanlah semua hal ini. Masalahnya adalah atmosfer di sekitar kami. Rasanya sangat menekan, seolah ada yang sangat salah dengan tempat itu.



Fasilitas tempat kerja kami sebagian besar berupa ruangan bawah tanah dengan pemanas di bagian atas, dan pintu masuk serta tangga yang terbuat dari semen. Bungker itu berbentuk persegi dari beton kelabu, dan terdiri dari ruang tidur pria dan wanita, beberapa kamar kosong, kamar mandi besar dengan pancuran dan kloset, plus tiga laboratorium dan kafetaria, semuanya tanpa jendela. Ada juga sebuah fasilitas medis dengan dua ruangan yang dilengkapi sofa (untuk sesi terapi). Di tengah-tengah, setelah pintu masuk berdaun ganda, ada ruang rekreasi yang dilengkapi meja bilyar, bar, dan dinding dari panel kayu bergaya tahun 70-an. Semua ruangan ini saling dihubungkan oleh koridor-koridor suram, dan ditambah dua ruang kantor dengan meja dan kursi (tempatku menghabiskan sebagian besar waktuku). Di atas fasilitas penelitian ini, ada dek observasi yang dapat dijangkau dengan tangga, lengkap dengan beberapa jendela. Akan tetapi, kami biasanya hanya naik ke sini untuk merokok, karena hawanya sama dinginnya dengan di luar. Keseluruhan tempat ini juga suram; ada lampu pijar dan beberapa lampu neon di berbagai sudut, tapi tetap saja tempat itu terasa seperti penjara semen bawah tanah.

Aku agak terkejut ketika menyadari mereka mengirim cukup banyak orang untuk misi ini. Aku melihat bahwa tim kami jumlahnya ternyata ada 12 orang. Semua orang ini adalah profesional di bidang mereka. Yang pertama adalah dokter Finlandia setengah baya yang berpengalaman menyembuhkan cedera di iklim beku. Ada peneliti bidang fisika yang kaget ketika melihat bagaimana sebenarnya Kutub Selatan, karena sama seperti sebagian besar dari kami, kebanyakan pekerjaannya hanya berurusan dengan teori. Ada pasangan suami istri ahli geologi asal Inggris. Ada tiga orang pria usia 30-an yang bertugas sebagai supir serta tim maintenance. Ada seorang ahli biologi, wanita kulit hitam super serius yang rambutnya selalu tersanggul rapi dan mengenakan jas laboratoriumnya sepanjang hari.

Ada juga dua orang terapis. Yang pertama wanita separuh baya dengan rambut pirang berponi dan membawa papan alas menulis, serta selalu tersenyum hangat. Yang satunya lagi seorang pria tinggi kurus. Pipinya tirus dan rambutnya hitam legam. Aku tidak tahu mengapa dia mau menjadi terapis, karena aku bahkan merasa terintimidasi ketika hendak sekedar menyapanya. Aku tak pernah melihat seorangpun di tim kami mengikuti sesi terapinya, kecuali kalau dia memang menyuruh mereka. Aku biasanya mencoba menghindarinya.

Ada seorang lagi yang kupikir adalah koki, tapi ternyata bukan, karena kami harus membuat makanan kami sendiri. Dia pria aneh dengan penampilan seperti tikus. Dia tidak bicara pada siapapun, dan ketika aku menyapanya, dia biasanya tidak menghiraukanku.

Aku? Aku adalah seorang pendeta. Yah, aku tahu yang kau pikirkan. Ada banyak profesional di tempat ini, tapi mengapa mereka masih butuh seorang pendeta? Menurutku juga aneh, tapi ketika aku dihubungi oleh perusahaan yang membiayai ekspedisi ini, aku tidak menolak. Mereka menawarkan imbalan uang yang cukup banyak, dan dalam bidang kerjaku, penawaran seperti itu langka.

Ekspedisi ini rencananya berlangsung selama enam bulan, dan masing-masing dari kami melakukan eksperimen spesifik. Aku tidak tahu apa yang dilakukan semua orang, tapi aku menulis jurnal observasi mengenai aspek religius dari ekspedisi ini, serta memberikan konseling kepada setiap anggota ekspedisi. Tugas konselingnya tidak masalah, tapi tugas penulisan jurnalnya? Rasanya kok seperti tugas mahasiswa baru di kelas Dasar-dasar Teologi. Tapi aku toh dibayar, jadi aku menerimanya saja dan menghabiskan waktu luangku mengunduh game dan film untuk melewatkan waktu di antara konseling.

Herannya, ternyata cukup banyak orang yang datang padaku untuk diskusi religius. Aku bahkan berhasil berteman dengan para anggota tim maintenance yang semuanya Katolik, walaupun mereka sempat agak sinis padaku di awal (aku seorang Protestan). Aku merasa bisa membantu mereka meredakan stres dengan mengijinkan mereka berdiskusi bebas soal agama sama santainya seperti kalau kami mengobrol biasa. Aku juga akrab dengan anggota tim lainnya. Si ahli fisika adalah seorang ateis, tapi kami akrab dan suka iseng menjahili masing-masing. Misalnya, aku akan menyembunyikan laptopnya lalu memutar keras-keras lagu "Jesus Take the Wheel," dan sebagai balasannya, dia akan membangunkanku di pagi hari dengan memutar lagu "No Church in the Wild" tepat di kupingku. Aku menganggapnya salah satu teman terdekatku di fasilitas ini (walaupun lagu yang sering diputarnya itu membuatku merinding, karena mengingatkanku bahwa kami semua sangat jauh dari peradaban).

Satu-satunya yang tak akrab denganku adalah si pria aneh dengan penampilan seperti tikus itu. Dia tak pernah bicara denganku walaupun kami berada bersama di ruang rekreasi. Dia senang memakai jaket tudung berwarna jingga dan celana jins di dalam ruangan, dan suka minum sendirian di bar kami yang suram. Aku jarang bertemu dengannya karena jadwal kami berbeda, dan tak pernah mempermasalahkan kebiasaan minumnya, apalagi di tempat suram seperti ini.

Hari-hari kami biasanya cukup sepi. Kebanyakan kami melakukan urusan kami sendiri di ruangan masing-masing, termasuk makan siang (biasanya makanan beku yang dipanaskan). Aku kadang-kadang mengobrol dengan si dokter Finlandia. Dia penganut Buddha, jadi kami sering bermeditasi bersama setiap pagi di fasilitas medisnya, di bawah penerangan lampu pijar yang berdesis. Dia sering bilang kalau tempat itu memberinya perasaan aneh. Sulit sekali untuk berkonsentrasi di sini, di antara semen kelabu dan terkubur di bawah salju. Aku juga menyadarinya selama beberapa lama. Kalau aku sedang sendirian dan semuanya sepi, aku berani sumpah aku bisa mendengar suara-suara berbisik. Setelah satu insiden dimana aku mendengar bisik-bisik itu dengan lebih jelas, aku mulai mengenakan headphone. Mereka membantuku sedikit; mengisi telingaku dengan suara-suara menenangkan.

Pasokan persediaan untuk kami dikirimkan seminggu sekali di sebuah pangkalan pesisir yang jauhnya ratusan mil. Isinya barang-barang seperti makanan, air, rokok dan wiski. Siapapun yang membayar untuk ekspedisi ini benar-benar banyak uang, tapi aku tidak pernah bertemu dengan klien kami. Aku hanya dikontak oleh perwakilan mereka. Sepertinya, orang yang membiayai ekspedisi ini sangat kaya, keras kepala, religius, dan benar-benar menaruh semua investasinya untuk ekspedisi ini. Dia menginginkan kesuksesan, tapi tak ada seorangpun dari kami yang tahu apa tujuan akhir yang diinginkannya dari pendanaan ekspedisi ini.

Seminggu sekali, kami juga keluar menggunakan "snow-rover," SUV besar yang bisa dikemudikan di atas salju dan es. Kami akan mengambil sampel es serta memeriksa lokasi penelitian yang ditinggalkan kru sebelum kami. Aku tak bisa membayangkan kru macam apa yang datang ke tempat ini untuk membangun semua fasilitas ini untuk pertama kalinya, tapi aku yakin mereka pasti dibayar gila-gilaan. Kadang-kadang, kami juga keluar sekedar untuk melihat matahari, tapi biasanya hanya kru yang berkepentingan dengan tugas penggalian yang pergi. Kemanapun kami melangkah, kami harus selalu memakai tali pengaman yang dikaitkan dengan SUV, untuk mencegah terpeleset di atas es.

Peristiwa buruk itu terjadi setelah dua bulan masa tinggal kami di fasilitas ini. Hari itu, tim yang pergi keluar adalah pasangan suami istri ahli geologi, si wanita kulit hitam ahli biologi, dan satu orang anggota tim maintenance. Mereka pergi dengan bersemangat. Akan tetapi, setelah berjam-jam, mereka kembali dalam keadaan terguncang. Mereka menerobos masuk ke ruang rekreasi ketika aku sedang duduk di sana dengan si terapis wanita. Salah satu ahli geologi langsung lari ke kamarnya, dan suaminya mengejarnya. Kami bertanya apa yang terjadi kepada si ahli biologi, yang menangis. Si terapis pria masuk tanpa suara, dan langsung menyuruh wanita itu untuk masuk ke kantornya.

Si dokter Finlandia kemudian menerobos masuk dan berseru, "apa yang terjadi!?"

"Aku tidak tahu," ujar si terapis wanita. Dia cemas, sama sepertiku.

"Mana Jack? (nama si anggota tim maintenance yang mengemudikan SUV). Tunggu dulu, di mana mobilnya?" Tanyaku, membuka pintu yang menuju keluar. Aku tidak melihat apa-apa kecuali tiang bendera, jejak-jejak kaki panjang, serta bermil-mil es yang berkilau putih di bawah matahari.

Kami duduk berjam-jam di ruang rekreasi, tapi si suami istri ahli geologi dan si ahli biologi berada di ruangan si terapis pria. Kami mendengar suara-suara panik dari balik pintunya. Akhirnya, mereka semua keluar. Kedua ahli geologi langsung masuk kamar mereka tanpa bicara. Si ahli biologi duduk di salah satu kursi lipat dekat kami. Si terapis pria berdiri di belakangnya. Wanita itu jelas sudah menangis sejak kembali.

"Kami sampai di lokasi itu tepat waktu," ujar si ahli biologi, berusaha menenangkan diri. "Lokasi penggalian itu...kami tiba pukul 7 alih-alih pukul 8, jadi kami bisa bekerja lebih awal. Mulanya semuanya oke-oke saja. Jack tetap di SUV dan mengawasi tali pengaman. Aku sedang sibuk memahat sampel es, sampai aku mendengar kedua orang itu memanggil-manggil kami dari lubang dalam yang mereka jelajahi. Aku ikut meluncur masuk ke lubang itu; dalamnya sekitar 30 meter. Mereka rupanya menemukan sesuatu di balik permkaan es.

"Kami menggali bersama-sama dan menemukan peti kayu berkunci yang besar. Kami pikir benda itu ditinggalkan oleh anggota tim penggalian sebelumnya, tapi desainnya nampak sangat tua. Seperti sesuatu yang berasal dari jaman Perang Dunia Kedua. Petinya berat dan terkunci.

"Kami menarik tali untuk memberi isyarat pada Jack, tapi dia tidak merespon. Kami memanggil-manggilnya, tapi dia tak menjawab. Kami tak bisa melihatnya dari sudut pandang kami. Setelah sepuluh menit berteriak-teriak, akhirnya kami memanjat ke atas menggunakan perlengkapan kami. Kami menggunakan sisa tali untuk mengangkat peti itu. Ketika kami sampai di atas, Jack tidak ada. Kami mencari di sekitar tempat itu, tapi tak menemukannya. Kami mengecek kalau-kalau ada lubang di es atau jejak kaki, tapi tak ada apapun. Kami menaruh peti itu di SUV, lalu melanjutkan mencari. Kemudian, kami melihat sesuatu. Ketika kami memanjat ke atap SUV untuk sudut pandang yang lebih baik, kami melihat pesan yang ditorehkan di atas salju. Tulisannya: 'LARI.'"

Kami tercengang menatapnya, dan dia mulai menangis lagi. "Kami panik. Kami langsung pergi, tapi tak ada seorangpun dari kami yang bisa mengoperasikan kendaraan yang dirancang untuk melaju di atas es. Kami menabrak, sekitar satu mil ke selatan dari sini. Kami berjalan kaki ke sini. Petinya masih ada di mobil, dan Jack masih hilang."

Dia kemudian menangis, dan pergi ke kamarnya. Jack masih belum menjawab panggilan radio, dan dia juga tidak menghubungi kami. Lokasi penggalian itu sejam berkendara dari tempat kami, dan kami berjarak ribuan mil jauhnya dari fasilitas lain. Kami benar-benar tak berdaya.

"Baiklah, lakukan yang penting dulu," ujar salah satu staf. "Kita harus mendapatkan kendaraan kita kembali."

Dia bersiap-siap, lalu bersama dengan anggota tim maintenance lainnya, pergi menggunakan mobil salju. Aku tidak tahu bagaimana mereka melakukannya, tapi mereka berhasil membawa pulang SUV itu kurang dari satu jam kemudian. Hari mulai gelap, dan kami tidak bisa mencari Jack karena berbahaya. Kami tidak tidur malam itu. Si pria aneh mirip tikus bahkan tidak masuk ke kamarnya. Dia cuma berkeliaran dan minum di bar. Aku berbaring di kasurku, mendengarkan musik dengan earphone untuk menghalau suara tangisan yang samar-samar. Aku menatap dinding beton. Kuburan beton di tengah-tengah zona es mati. Kami semua sendirian.

Aku ingat si dokter berkata sebelum masuk ke kamarnya: "kalau Jack masih hidup, dia akan lebih baik di luar sana."

- To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar