Jumat, 20 Mei 2016

Rival






Kutatap ia menggerai rambutnya yang panjang terjuntai ke bawah, menantiku melakukan gerakan selanjutnya. Ranjang merah dengan kelambu itu sesak gempita, padahal hanya diisi olehnya saja. Gadis bertubuh gemulai itu memejamkan matanya dan ia bertambah seratus kali lebih indah di mataku, seakan pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya. Kusentuh ujung pahanya yang hanya terbalut beberapa kain putih panjang yang terjatuh ke lantai. Kain kain putih itu semakin terjatuh, dan menampakkan kulit dekat dadanya
yang putih lembut bak sutra. Halus, seperti pualam terbaik di dunia. Lilin redup yang berkobar malu malu mengisi ruangan bata ini membakar sesuatu yang mulai bangkit dalam diriku. Lembaran angin yang dingin membuatku ingin melucuti dan memiliki setiap inci tubuhnya, di ambang paruh malam ini, sekali saja.

Aku mematung berusaha menolak, namun aku tahu, di dalam otakku, sang malaikat baikku telah dikalahkan oleh iblisku yang menggebu gebu. Atau sejak awal tak pernah ada malaikat baik dalam hatiku? Pemikiranku begitu lumpuh saat itu, aku berusaha mencari pembenaran yang mutlak, walau aku tahu, akalku mulai hancur dan terjatuh.

Oh eros, tangan kecilnya mulai menggapai dadaku yang bidang. Bibir lentik kemerahannya menggodaku untuk mencumbunya dalam dalam. Aku mulai merasa sesuatu yang sesak. Tidak, tidak. Ini tidak benar. Rasanya aku tak bisa. Namun aku juga tak bisa menolak rayuan memabukkannya. Lelaki manapun takkan bisa.

Batas antara badanku dengan badannya sudah tak jelas--aku merayap di atasnya, namun kakiku rasanya tak mau beranjak. Aku membelai rambutnya yang halus, diam diam aku ingin menjambaknya sampai lepas, namun tanganku malah terus membelainya. Mata kami yang sejajar saling bertabrakan detik itu. Ia menatapku tersipu dengan mata coklat chesnutnya, dan aku menyeringai.

Tak pernah aku begitu tergoda oleh seorang gadis, sepanjang aku menjalani hidupku yang dingin. Terlebih lagi, gadis ini yang tengah terpaku di bawahku, adalah lawanku. Namun tak pernah terbersit ia akan menjadi lawan dalam ranjang.

"Pelan pelan…" lirihnya, lebih ke mendesah.

Sial, aku, seorang monster, jatuh cinta dengan seorang monster juga.

Aku berbaring di atas tubuhnya yang kecil. Aku bisa mendengar gemuruh debam jantungnya yang sangat kasar di dalam dadanya. Lilin putih itu semakin ditelan kegelapan. Bibirku mendarat di lehernya yang beraroma vanila, oh, rasanya aku mulai meleleh. Dengan pelan aku memulai permainanku. Tangan kecilnya mendekap punggungku dan meremas remas hoodieku. Aku melupakan hal yang sederhana sejak awal. Ia melirikku dengan datar saat aku berhenti sejenak dan membuang hoodie yang membalut tubuhku ke ujung ruangan bata. Kemudian aku kembali meneruskan pekerjaanku, mengagumi tubuh sempurnanya. Bibirnya yang merekah menciumi rambutku dengan perlahan.

"Apa kau seorang masokis?" Tanyaku, diantara deru nafasku yang bercampur lenguhan.

"Entahlah, Jeff." Baru kali suaranya terdengar merdu di telingaku.

"Aku menyerah."Aku menunduk tanpa berani melihat wajahnya yang tak kurang dari 5 cm di depanku. Ia tak berkutik. Aku melanjutkan.

"Jane the Killer, maukah kau menjadi putri tidurku?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar