Belahan
jiwaku meninggalkanku hari ini. Yang tersisa darinya adalah sepasang
kaos kaki yang kemungkinan besar terjatuh dari dalam tasnya dan sebuah
surat bertuliskan “Untuk Jessica” di meja dapur.
Aku membukanya dan mulai membacanya.
" Aku tak bisa lagi melakukannya, Jess. Kau tahu aku mencintaimu, dan
aku akan selalu mencintaimu. Namun mulai beberapa bulan yang lalu,
kondisi semakin bertambah buruk. Ya, itu dia, mantanku yang gila. Ia
mengikutiku lagi dan aku takut ia akan membunuhmu. Maafkan aku, namun
aku harus pergi. Aku tak bisa membuatmu terjerumus dalam bahaya ini
bersamaku. Maafkan aku karena tak sempat mengucapkan selamat tinggal.
Aku tak tahan bila harus melihatmu menangis. "
Tertanda,
David
Tiba-tiba pintu depan terbuka. Secara insting, aku langsung meraih pisau di dekatku dan bersembunyi di pantry.
Dia, itu dia ... aku tahu itu! Dia akhirnya datang!
“Hallo.” teriaknya.
“Ada orang di sini?”
Aku bisa melihatnya memegang pisau. Sial, tadi aku lupa mengunci kembali pintu depan!
“Keluarlah, aku takkan menyakitimu!”
Dia melihat surat tergeletak di atas meja dan membacanya. Ia langsung
menangis dengan histeris, dan tanpa membuang waktu, aku langsung
menikamnya dari belakang, tepat di dadanya.
“Hai, Jessica!” bisikku ambil tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar