Selasa, 13 Desember 2016

Matahari Merah

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Biasanya ini sebuah pertanda, saat aku bangun sebelum alarmku menyala, sesuatu yang buruk akan terjadi. Satu hal yang indah dari pagi ini adalah langit berwarna jingga pekat. Seperti saat matahari terbenam. Aku bergegas ke jendela melihat dunia dari kamar di lantai dua. Matahari baru terlihat setengah di cakrawala. Jantungku berdebar melihatnya. Jendelaku menghadap ke barat. Matahari terbit dari arah sebaliknya.


Orang-orang keluar dari rumah melihat keajaiban. Penampakan matahari merah. Itu bukan matahari terbit. Aku seperti melihat matahari terbenam yang kembali menuju puncaknya. Kombinasi langit jingga, awan yang menghitam, dan dari cakrawala aku melihat titik-titik kecil muncul sangat banyak. Semakin lama mereka semakin membesar, bergerak seperti hujan panah di film kolosal menutupi bayangan baskara.


Aku masih terpaku di muka jendela, begitupun orang-orang yang semakin banyak berkumpul di jalan melihatnya. Bertanya-tanya dan menduga-duga. Dalam hitungan menit titik-titik tadi terlihat semakin jelas bentuknya. Seperti burung yang digambar siswa sekolah dasar di kelas. Sayap-sayap besar mengepak semakin dekat.


Matahari merah telah bermain muslihat. Dalam langit jingga dan awan kehitaman, titik-titik kecil hanya terlihat hitam dan tak jelas, dan saat mereka semakin dekat hanya bayangan hitam yang terlihat. Tapi ketakutan mulai merasuk pada diri siapapun yang melihat. Apapun yang sedang mendekat itu bukan makhluk yang pernah dilihat manusia. Ibu-ibu berlari membawa anaknya kembali masuk rumah saat kepakan sayap terlihat lebih besar dari bayangan surya. Laki-laki pemberani masih berdiri di jalan, mendongak, penasaran akan makhluk apa sebenarnya yang datang mendekat. Suara pekikan terdengar dari langit tempat makhluk itu datang, seolah memberi kabar kedatangan dengan suara seperti seribu jeritan dari neraka. Jantungku berdebar lebih cepat, mataku tidak bisa berhenti menatap. Terpana dan ketakutan menyatu dengan sempurna.


Saat makhluk yang pertama terbang melewati atap rumah, aku tidak bisa menemukan nama yang tepat untuknya. Bayangan tubuhnya menutupi jalan dua arah di depan rumah, bayangan sayapnya menutupi empat rumah di sisi kiri dan kanan. Aku terpejam dan berpegangan kuat pada bibir jendela saat angin kuat datang mendorongku ke belakang setelah makhluk itu melintas. Saat aku membuka mata, matahari sudah hampir di puncaknya. Bayangan ratusan makhluk itu masih menutupi cahayanya saat terbang di atas rumah.


Yang selanjutnya terjadi, sebuah cairan hitam pekat jatuh dari langit seperti air keran yang deras. Dari jendela aku melihat ke atas. Beberapa makhluk itu mengepakkan sayap di atas, dari mulutnya yang corong mengeluarkan cairan hitam terus menerus tanpa jeda. Tak butuh waktu lama seluruh jalan berubah menjadi hitam, atap-atap rumah pun tidak luput darinya. Orang-orang yang masih berada di jalan berlumuran cairannya yang terlihat pekat dan kental. Mereka sibuk berlari dan menyibakkan cairan tersebut dari tubuhnya. Saat itu alarmku berbunyi, pukul delapan tempat, waktu biasa aku bersiap untuk bekerja. Namun hari ini aku tidak bisa ke mana-mana. Bersamaan dengan alarm yang berbunyi dalam kamar, di luar orang-orang menjerit kesakitan. Aku berbalik melihat dari jendela dan mendapati tanah mengeluarkan uap panas. Dari cairan hitam muncul gelembung-gelembung yang pecah seketika seperti aspal panas. Orang-orang yang tidak sempat berlari ke dalam menjerit kesakitan, saat tubuh mereka mengeluarkan asap. Mereka direbus saat bernyawa.


Selama dua jam kedepan aku dipaksa menyaksikan peristiwa horor yang ditampilkan. Orang-orang melolong dan tidak ada yang berani menolong, mereka meleleh menyatu dengan cairan hitam di jalanan. Seperti di neraka aku terduduk di bawah jendela, bertekuk lutut bersembunyi di antaranya, menutup mata dan telinga saat teriakan dan jeritan wanita dan anak-anak terdengar di rumah-rumah sebelah, suara kayu dan bata berjatuhan, atap-atap runtuh dari tempatnya. Saat aku membuka mata, setengah rumahku telah hilang jatuh ke tanah. Dari dinding yang telah tiada aku melihat matahari mulai terbenam, warnanya kuning keemasan. Tersenyum pada dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar