Megan
melihat ke arah seorang pemuda yang duduk di dekat jendela kantin
sekolah. Pemuda itu tidak menyentuh makanannya sedikitpun, seakan yang
ada di piring itu adalah setumpuk daging busuk. Ada sekaleng soda dingin
dan sebotol air mineral di depannya. Dengan wajah muram Ia meneguk
hampir separuh isi botol dalam sekali teguk dan meletakkan botol itu kembali ke atas meja, lalu menepis segerai rambut pirang dari wajahnya.
“Kau menatapnya lagi.“ bisik Joanne. Ia mengambil sepotong kecil daging
dan memasukkannya ke mulut, lalu mengunyah pelan sambil melirik ke arah
pemuda itu. Megan mendeham dan menyelipkan seikat rambut panjang ke
belakang telinganya.
“Kenapa sih, dia selalu pakai sarung tangan?“ Megan balas berbisik.
Joanne mengangkat bahu, lalu kembali mengunyah sepotong daging. “Anak
orang kaya, mungkin saja dia takut kotor. Aku pernah melihat orang
seperti itu di TV. Tadi, sewaktu aku mengambil minuman dingin,“ katanya
dengan suara lebih pelan seraya mencondongkan badan ke arah Megan, “dia
belum memakai sarung tangan dan tanpa sengaja kami bersentuhan. Dia
melihatku seperti ini-“ Joanne melotot, mulutnya ternganga, menirukan
ekspresi ketakutan yang dilihatnya. “Seperti melihat hantu saja!“
“Dia mengelap tangannya, malah lalu membilasnya dan memakai sarung
tangan tebal itu.“ Joanne merengut kesal, diliriknya pemuda itu sekali
lagi sebelum menghabiskan sisa makanan di mulutnya.
Alis
Megan terangkat. “Benarkah?“ bisiknya heran. “Lalu kenapa dia pindah
kesekolah ini, di kota kecil? Bukankah lebih baik jika dia tinggal di
New york atau tempat lain yang lebih … bersih?“
Joanne
kembali mengangkat bahu. “Dengar, Megan. Aku tahu Josh itu keren, tapi
dia bukan orang yang bisa diajak bicara. Pernah tidak, kau lihat dia
tersenyum? Tidak kan? Dan meskipun dia kaya, aku takkan mau memiliki
pacar yang akan selalu mencuci tangan setelah menyentuhku.“ ujarnya
setengah mencibir.
Megan tersenyum pada temannya itu.
“Sebenarnya bukan itu yang ada di benakku. Aku hanya merasa- dia
terlihat kesepian, itu saja.“
“Salah siapa memangnya? Ayolah, aku tak mau terlambat masuk kelas.“ Joanne mengelap bibirnya dengan tissue dan beranjak pergi.
Megan menoleh sekali lagi kearah Josh sebelum menyusul temannya kembali
ke kelas. Hari itu ada biologi dan sejarah, mata pelajaran favorit
Megan. Ia telah belajar malam sebelumnya dan bisa menjawab dengan mudah
setiap kali Prof. Scott menunjuk ke arahnya dengan jari kurusnya yang
panjang. Joanne mengedipkan sebelah mata padanya ketika Megan
memberitahukan jawaban untuk soal berikutnya pada gadis itu.
Ketika Megan menoleh, tanpa sengaja ia melihat sepasang mata Josh yang
berwarna coklat menatap tak berkedip ke arah Joanne, bibirnya bergetar.
Joanne benar, Josh kelihatan seram kalau sedang begitu. Tiba-tiba Josh
melihat Megan, membuat gadis itu tersentak di kursinya. Saat itulah bel
berbunyi dan seisi kelas-pun gaduh, semua murid tampak tergesa, tak
sabar untuk meninggalkan kelas.
Saved by the bell, pikirnya. Sungguh klisé.
“Kau mau ikut denganku, tidak?“ tanya Joanne ditengah perjalanan
keluar, di lapangan depan sekolah. Ia menuju mobil beetle warna
kuningnya yang berada jauh di sudut area parkir sekolah.
“Tidak. Aku harus mampir ke supermarket, jadi kurasa sebaiknya aku jalan
kaki ke sana, lalu nanti pulang naik bus.“ ujar Megan sambil
melambaikan tangan pada temannya. Ia menenteng tas di pundak dan
berjalan keluar halaman sekolah. Ada sebuah supermarket yang hanya
berjarak dua blok dari sana, dekat tempat pemberhentian Bus dan Megan
memutuskan untuk berjalan kaki ke sana untuk membeli sejumlah barang
yang dipesan oleh ibunya.
Ia sedang menyeberang jalan
sewaktu melihat sebuah Mercedes warna hitam berhenti tak jauh darinya.
Josh turun dari kursi belakang dan mengambil seekor kucing kecil yang
terlantar di pinggir jalan. Sebuah senyum menghias wajahnya saat ia
mengangkat kucing kecil itu, dengan lembut Josh mengelus-elus bulu
lebatnya, menyisir tiap helai dengan jemarinya.
Langkah
Megan pun terhenti. Josh tidak sedang memakai sarung tangan. Kalau
memang ia takut kotor, mengapa ia malah bermain-main dengan kucing itu
tanpa memakai sarung tangan? rasanya tak masuk akal. Pasti ada alasan
lain untuk kebiasaannya memakai sarung tangan. Hal itu membuat Megan
penasaran.
Josh mendekap kucing itu dan menoleh kearah
Megan. “Apa kau akan diam saja di sana dan menunggu ada mobil yang
menabrakmu?“ ujarnya dengan sesungging senyum kecil. Megan menarik
nafas, terkejut mendapati dirinya berdiri tepat di tengah jalan. Ia
beruntung saat itu jalanan sedang sepi. Ia tertawa dengan gugup, lalu
melanjutkan langkah kakinya dan akhirnya berhenti didepan pemuda itu.
“Kucing yang cantik.“ ujarnya canggung, mencoba memulai obrolan. Josh
sebenarnya terlihat baik, hanya saja sorot matanya terkadang menakutkan.
“Ya, dia lucu, bukan? Akan kubawa dia pulang. Kau tahu dimana aku bisa beli makanan kucing di sekitar sini?“
“Umm, ada supermarket di dekat sini. Aku juga mau ke sana, sebenarnya.“
Josh menatapnya dengan mata coklatnya yang lebar. “Aku tak tahu jalan.
Bisakah kita pergi bersama? Supirku juga baru di kota ini.“
Megan menjawab dengan anggukan dan merekapun masuk mobil. Begitu berada
di dalam, Josh buru-buru memasang sarung tangannya dan duduk agak
berjauhan, seakan dia takut kalau tanpa sengaja menyentuh Megan.
“Kau Megan, bukan?“ tanyanya pelan. Si kucing kecil meringkuk nyaman dipangkuannya.
“Ya. Itu aku.“
Josh menatapnya dengan ekspresi aneh. Lalu, dengan suara pelan, lebih
terdengar seperti desisan, ia berkata: “Bilang pada temanmu untuk tidak
menyetir besok.“
Megan terbelalak. “Joanne? Tunggu. Kenapa kau bilang begitu?“
Sebelum ia mendapat jawaban, mobil telah berhenti tepat di depan
supermarket dan Josh menitipkan kucing kecil itu pada sopirnya, lalu
iapun melompat turun. Megan mengikutinya. Josh bergegas pergi, melewati
deretan rak penuh makanan kaleng dan mengambil sebungkus besar makanan
kucing.
“Josh. Bisakah kau lebih spesifik lagi? Kenapa
kau suruh aku bilang pada Joanne untuk tidak menyetir besok?“ tanyanya
seraya menarik tangan Josh, memaksanya untuk berhenti.
Tanpa melihat kearah Megan, ia menjawab dengan bisikan. “Temanmu mungkin
akan selamat jika dia tak menyetir besok.“ Lalu iapun pergi,
meninggalkan Megan yang masih kebingungan.
Megan tak
dapat berhenti memikirkan apa maksud kata-kata Josh. Begitu tiba di
rumah, ia menelepon Joanne dan menceritakan padanya akan apa yang
terjadi, dan apa yang dikatakan oleh Josh padanya. Joanne malah tertawa,
mengoloknya karena ia telah berbicara dengan orang seaneh Josh.
Malam itu, Megan tak bisa tidur. Sorot mata Josh dan cara bicaranya yang menakutkan terus menghantui pikirannya.
* * *
Hari berikutnya, kelas diliburkan karena sebuah kabar yang mengejutkan.
Joanne mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju sekolah dan
meninggal. Sementara sesisi sekolah bersiap-siap menuju rumah Joanne
untuk ikut berbela sungkawa, Megan hanya duduk mematung, tatapannya
kosong. Sahabatnya telah hilang, selamanya.
Lalu iapun berlari.
Megan melambaikan tangannya kesebuah taxi yang lewat, air mata mengalir
di wajahnya. Ia menggigit bibir agar tangisannya tidak tumpah, sambil
mengaitkan jemarinya di pangkuan. Begitu tiba di depan rumah Josh yang
mewah, Megan langsung menggebrak pintu dengan kedua tangannya.
Seorang lelaki paruh baya membuka pintu dan mempersilahkan ia masuk.
Saat ia melihat Josh di ruang depan, Megan berlari ke arahnya dan hampir
membuatnya terjatuh ke lantai. Dan tangis gadis itupun pecah di
depannya. Megan merasa tangan Josh terangkat untuk menyentuhnya, namun
kemudian ia menarik tangannya kembali, pemuda itu berubah tegang,
badannya kaku.
Megan menghapus air matanya dan menatap
Josh. Ia tidak mengenakan sarung tangannya dan takut menyentuh Megan.
Ada goresan-goresan putih dipergelangan tangannya. Bekas goresan pisau.
“Joanne kecelakaan. Dia meninggal!“ bentaknya. “Apa maksud semua ini?
Apa hubungannya dengan yang kau katakan padaku kemarin? Apa semua ini
perbuatanmu?!“
Lelaki setengan baya yang berdiri di dekat
pintu mendekat kearahnya. “Apapun yang telah terjadi, nona-“ ia
memulai. “Saya berani jamin itu bukanlah kesalahan Tuan muda.“
Josh mengangkat tangan sebagai isyarat agar dia diam. “Tak apa Simon, Biar aku yang bicara padanya.“
“Tapi–“ Lelaki itu mencoba menolak, tapi kemudian ia menurut dan mundur
menjauh. Ia mengangguk hormat sebelum meninggalkan Josh dan Megan
sendirian.
Josh menyembunyikan tangannya di belakang
punggung. “Kalau kuceritakan yang sebenarnya padamu, itu berarti aku
harus meninggalkan kota ini besok.“
“Mengapa?“
“Karena apapun yang akan kau dengar, akan membuatmu bermimpi buruk
selama kau masih mengingatku.“ Ia terdiam sejenak, menatap Megan dengan
seksama. “Apa kau masih ingin tahu?“
Megan melangkah
maju, menutup sisa jarak di antara mereka. Josh mengernyit, tapi tak
beranjak. “Aku baru saja kehilangan sahabatku dan aku tak ada waktu
untuk mendengar kebohongan. Jadi katakan saja! Apa yang kau tahu? Kau
ini sebenarnya apa?“
Pemuda itu menarik nafas panjang
sebelum akhirnya bicara. “Aku bisa melihat masa lalu seseorang,
kehidupannya yang sekarang, dan masa depannya, hanya dengan menyentuh
tangan mereka. Aku terlahir dengan kemampuan ini. Ada yang bilang ini
merupakan suatu kelebihan istimewa, ada yang menjauhiku karena takut.
Bagiku, ini adalah sebuah kutukan Aku melihat kematian orang-orang di
dekatku, sementara mereka sama sekali tak menyadari apa yang menanti
mereka. Aku melihat kematian kala mereka tertawa, saat mereka bermain,
membaca, bahkan saat mereka terlelap.“
Dengan ragu, Josh
menunjukkan tangannya. “Aku telah mencoba bicara dengan orang tuaku,
memperingatkan mereka akan bahaya yang bisa merenggut nyawa mereka, tapi
aku sama sekali tak dihiraukan. Aku harus melihat mayat mereka di peti
mati. Kau takkan bisa membayangkan apa saja yang telah kualami, Megan.
Kau takkan pernah tahu betapa semua penglihatan yang kudapat menyiksaku
sedemikian rupa. Orang-orang di sekitarku tersenyum dan tertawa,
sedangkan aku tak bisa makan karena aku tahu mereka akan mati setelah
itu.“
“Aku berusaha mengakhiri semuanya, berkali-kali.
Aku ingin mati, tapi takdir tak mengijinkan, karena aku adalah si
pembawa pesan. Sudah kucoba semuanya. Dengan memotong pergelangan
tanganku, dengan meminum racun, berdiri di tengah jalan, tapi semuanya
gagal. Aku masih di sini.“
Megan tak dapat berkata apa-apa, suaranya tercekat di tenggorokan.
Josh mengulurkan tangannya. “Kalau aku menyentuhmu sekarang, Megan, aku
akan bisa melihat bagaimana kau akan meninggal. Apa kau ingin tahu
kapan? Terkadang ada orang yang bertanya padaku agar mereka tahu
bagaimana akan menghabiskan saat terakhir mereka, dengan siapa mereka
akan menghabiskan waktu, atau kapan harus menulis surat warisan.“
Megan menggeleng, tubuhnya gemetar. “Tidak. Lebih baik kuhabiskan waktu
untuk merencanakan masa depanku daripada memikirkan bagaimana caraku
mati. Hidupku bukan mainan.“
Sebuah senyum sedih menghias wajah tampan Josh sewaktu ia menarik kembali tangannya.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang sebaiknya kau pergi, Megan. Aku harus berkemas.“
“Apa kau harus pergi?“
Josh terdiam. Kucing kecil yang kemarin dipungutnya berlari dari
halaman dan meringkuk di kakinya. Perlahan, ia mengangkat kucing itu dan
mengelus punggung mungilnya. Kucing kecil itu menjilat tangan Josh.
Pemuda itu menatap Megan dengan sedih. “Aku sudah terlalu sering pindah
dari satu tempat ke tempat lain sampai-sampai sulit bagiku mengingat
nama teman-temanku, kalaupun ada yang mau berteman denganku.“
“Kalau begitu, sebaiknya kau tinggal di sini lebih lama lagi. Siapa tahu nantinya ada seseorang yang bisa kau ingat.“
Kedua alisnya yang tebal saling bertaut. “Apa kau tak takut padaku?
Tidakkah kau ingin aku pergi, agar kau bisa bebas dari rasa takut yang
kusebabkan?“
“Rasa takut bisa membuat kita lebih kuat asal kita bisa mengalahkannya.“
Pemuda itu akhirnya tersenyum. “Mungkin sebaiknya aku coba untuk tinggal di sini lebih lama.“
Sang kucing kecil meloncat turun dari gendongan Josh dan Megan berusaha
menangkapnya. Saat itulah tangan mereka bersentuhan. Josh terkesiap, ia
menarik kembali tangannya secepat mungkin. Tapi terlambat, ia telah
melihat semuanya.
“Megan,“ dengan hati-hati ia berkata. “Akan kuantar kau pulang.“
“Tidak usah. Aku bisa naik Taxi.“
Josh meraih tangannya, memegangnya erat. “Kuantar kau pulang.“ ujarnya,
ia terlihat tegang. Megan melihat tangan mereka yang kini bersentuhan,
bulu kuduknya meremang.
Josh mengajaknya duduk di kursi
belakang, ia masih menggenggam erat tangan gadis itu. Megan dapat
merasakan bekas luka di pergelangan tangan Josh dimana ia telah menyayat
dirinya sendiri. Pastilah semua ini berat baginya.
Tepat
di depan tikungan, mobil berhenti. Jalanan itu macet, berbagai jenis
kendaraan terjebak antrian panjang. Telah terjadi kecelakaan lain.
Sebuah taxi tertabrak oleh truk besar. Taxi yang seharusnya membawa
Megan menuju kematian.
Megan berkedip, ia menatap Josh tak percaya, mulutnya ternganga.
Josh berbalik menatapnya. “Jangan khawatir Megan. Kau aman bersamaku.”
Bisiknya. Megan hanya bisa mengangguk pelan, sementara mobil mulai
bergerak maju. Megan melihat seorang polisi menarik keluar mayat
seseorang dari dalam taxi yang penyok. Darah merah segar tumpah keatas
jalan. Megan menelan ludah dengan susah payah. Kalau Josh tak
mengantarnya dan ia menaiki taxi itu, darahnyalah yang akan tumpah ke
jalan.
Melihat wajah Megan yang pucat, Josh angkat
bicara. “ipodmu tidak hilang, kok. Kau menjatuhkannya di bawah ranjang
dan ibumu menyimpannya sewaktu dia membersihkan kamarmu.“ ujarnya
disertai senyum, mencoba menepis ketegangan.
“Kau juga
bisa melihat itu?“ Megan terkejut, saat gadis itu menatapnya, rona merah
wajah cantiknya telah kembali. Josh tersenyum lebar. Ini adalah saat
dimana ia bisa merasa senang karena memiliki tangan seorang peramal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar