Selasa, 13 Desember 2016

Parasitosis

Gatal.
Itulah yang aku rasakan selama tiga bulan terakhir. Aku hanya bisa menggaruk, menggaruk dan menggaruk seluruh tubuhku, mencakar kulitku. Hingga tanpa kusadari kulitku kian terkelupas akibat goresan kuku. Aku tak bisa mengontrolnya. Sungguh, aku tidak bisa! Katakan saja aku sinting, tapi ketika kau berada di posisiku kau akan paham apa maksudku.

Kondisiku ini mulai kusadari dua minggu setelah aku dan Kevin pulang berbulan madu dari Bangkok. Malam itu aku tertidur di sebelah Kevin seperti biasa, layaknya pengantin baru. Namun, di tengah malam aku terbangun. Tidurku yang lelap terganggu karena aku mendengar suara gemerisik. Awalnya aku kira itu suara angin yang berdesir di luar jendela yang membuat ranting pohon bergoyang. Aku mengamati luar jendela kamar, dan pohon sama sekali tak bergerak, bahkan tak ada angin yang bertiup. Oleh karena rasa lelah yang menghantui, aku tidak lagi mempermasalahkan hal tersebut dan memilih untuk kembali tidur.
Pagi harinya, aku mengantar kepergian Kevin menaiki taksi menuju bandara karena ia harus pergi ke luar kota untuk menemui kliennya. Ketika aku kembali ke ruang tidur, aku mendapati bantalku ternoda bercak darah.

Aku menatap cermin lalu memeriksa dahi, pipi, dagu bahkan mulutku namun tak ada luka yang terlihat. Hingga akhirnya aku menyentuh daun telinga kiriku, dan menemukan serpihan darah kering yang sepertinya menetes dari dalam telingaku tadi malam.
"Mungkin infeksi," pikirku. Aku menyesal betapa naifnya pemikiranku saat itu.

Malam harinya, aku kembali terbangun. Suara gemerisik itu semakin keras dan jelas. Bukan. Bukan gemerisik. Suara itu seperti makhluk yang merayap. Darahku berdesir ketika menyadari bahwa suara itu tidak berasal dari luar. Melainkan, suara itu berasal dari dalam kepalaku. Suara seperti makhluk yang sedang merayap perlahan, memasuki rongga telingaku. Aku panik, dan bergegas menuju meja rias untuk mengambil cotton bud. Aku berusaha mengorek makhluk apapun yang sedang merangkak masuk ke dalam telingaku dengan cotton bud, namun tak ada hasil.

Di dalam kamar mandi aku meneteskan air ke telingaku dan menggoyang-goyangkan kepalaku, berharap makhluk itu keluar, tapi tetap nihil. Aku pasrah. Malam itu aku lalui tanpa istirahat.

Peristiwa ini berlangsung selama 5 hari, dan itu membuatku sangat frustrasi. Aku kesulitan tidur, aktivitasku sehari-hari terganggu dan aku menjadi mudah marah. Pada hari ke-3 aku berinisiatif untuk menemui dokter THT, namun tidak ada indikasi serangga atau makhluk lain memasuki telingaku. Hal itu justru membuat aku semakin depresi. Dokter mengatakan aku harus beristirahat yang cukup, karena mungkin suara yang aku dengar hanyalah akibat dari kondisi tubuhku yang kelelahan. Tapi apa yang bisa kulakukan? Memejamkan mata saja aku sulit!

Menjelang hari ke-6, Kevin telah kembali ke rumah dan entah mengapa suara-suara tersebut perlahan berhenti. Mungkin dokter benar. Mungkin aku hanya kelelahan. Mungkin memang suara merayap itu hanya khayalanku semata.

Bohong.

Dua minggu setelah kejadian itu berakhir, kulitku menunjukkan ruam-ruam di sekujur tubuhku. Rasanya sangaaaat gatal! Aku selalu tergoda untuk menggaruknya, namun Kevin selalu melarangku. Ia menganggap mungkin ruam-ruam merah itu merupakan biang keringat atau mungkin gejala alergi jadi sebaiknya tidak digaruk untuk tidak memperparah keadaan. Aku menurutinya dengan menutupi titik-titik tubuhku yang terkena ruam dengan plester. Setidaknya aku tidak akan spontan menggaruknya ketika aku tertidur.

Tiga hari berlalu namun tubuhku tidak menunjukkan tanda-tanda sembuh dari bercak merah tersebut. Ingin rasanya aku menggaruknya sepuas hatiku.

Esok paginya, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan. Salah satu plester yang menutupi ruam di dadaku terlihat menggelembung. Rasa penasaran memanduku untuk melepas plester itu. Dibaliknya aku menemukan kulitku yang terkena ruam kini sedikit mengembung. Seperti bisul, namun yang ini berukuran sebesar ibu jariku.

"A-apa ini?" tanyaku pada diri sendiri.

Dengan perlahan jariku aku arahkan ke bisul itu. Ketika jariku menyentuh permukaan kulit, tanpa dapat ku antisipasi bisul tersebut ternyata menggeliat-geliut. Aku menarik napas dan melangkah mundur hingga terjatuh di kamar mandi. Aku mencoba berdiri kembali dan menatap cermin. Sekali lagi aku menyentuh bisul itu, dan ia kembali menggeliat. Aku tidak berhalusinasi. Aku menjerit histeris dan menghampiri Kevin yang sedang berada di ruang televisi. Aku memaksanya untuk mengamati bisul di atas dadaku. Bukannya ia menenangkan diriku, justru ia mengerenyitkan dahi.

"Apa maksudmu? Aku tidak melihat apapun?" tanyanya bingung.

"Jangan bercanda, Kevin!! Kau tahu ada sesuatu yang menggeliat di situ!!" jawabku geram.

"Sunggguh, Vir. Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Are you okay?"

Aku kira Kevin bergurau tapi ternyata tidak. Kevin serius. Dia memang tidak dapat melihat makhluk itu. Makhluk yang sedang menggeliat di bawah kulitku.

Pada awalnya aku menganggap aku hanya berimajinasi karena kelelahan. Kau percaya itu? Aku berusaha menenangkan diriku sendiri, dengan menganggap diriku gila! Fantastis! Konyol. Dan idiot.

Tapi setelah beberapa hari aku mengetahui bahwa apa yang aku rasakan ini nyata. Rasa gatal itu nyata, begitupun makhluk yang berada di bawah kulitku. Ini berbeda dengan suara sebelumnya! Aku dapat melihatnya menggeliat di bawah kulitku! Tapi aku tidak mengerti apa yang membuat Kevin tidak dapat melihatnya.

Rasa gatal yang sangat, membuatku memutuskan untuk menggaruk ruam tempat makhluk itu berada. Pada awalnya aku hanya menggaruk ruam-ruam di sekitar tempat makhluk itu, tapi tanpa sengaja jariku menyentuh bisul itu. Tiba-tiba, makhluk itu menggeliat dan merayap dengan cepat menjauhi tanganku, dari atas dadaku, lalu bahuku, berlanjut ke punggungku. Makhluk itu menyusuri sekujur tubuhku melalui jalur bawah epidermis.

Terkejut, takut, jijik marah semua bercampur aduk dalam hatiku. Akal sehat hilang dari otakku, sehingga dengan panik aku menggaruk seluruh tubuhku. Akan tetapi, seakan mengejekku makhluk itu selalu merayap menjauhi tempat tanganku menyentuh. Jika aku menggaruk punggungku, maka dia merayap ke pundakku. Jika aku menggaruk pundakku, maka dia berpindah ke bahuku. Hal itu terus terjadi hingga aku kehabisan nafas untuk terus melawan.

10 hari berlalu, dan kondisiku semakin parah. Yang tadinya hanya usapan, kini menjadi garukan, bahkan cakaran. Kulitku lecet dan terkelupas karena kukuku yang selalu menggores kulit dengan kasar. Tak jarang darah segar menetes dari lukaku. Aku bahkan tidak bisa keluar dari rumah kecuali dengan menggunakan baju lengan panjang dan sarung tangan yang menutupi seluruh kulitku.

Kevin, yang semakin khawatir dengan kondisiku, mengantarku menemui dokter kulit untuk memeriksakan diriku. Tapi, hasilnya nihil. Dokter tidak menemukan apapun. Padahal, ketika dokter tersebut menyatakan diagnosisnya, makhluk itu sedang berada di atas telapak tanganku. Menggeliat. Menghina diriku yang tak berdaya. Kami pun juga mengunjungi dokter lain membahas perihal kesehatanku.

3 hari setelah itu, Kevin mengajukan solusi lain. Ia mengantarkanku menemui seorang psikolog salah satu kenalannya. Jika penyebabnya bukan berwujud fisik, mungkin penyebabnya berbentuk psikologis, begitu katanya. Aku sedikit tersinggung atas sarannya itu. Memangnya aku terlihat gila di matanya? Tapi karena aku percaya bahwa Kevin benar-benar perhatian padaku, maka aku menurutinya.

Setelah konsultasi, wawancara dan observasi yang lama, akhirnya psikolog itu menemukan diagnosis untukku. Ia bilang aku memiliki DoP (Delusions of Parasitosis) atau biasa disebut Parasitosis. Orang yang memiliki Parasitosis biasanya mempercayai bahwa di dalam kulitnya ada makhluk, terutama serangga, yang menjadi parasit dalam tubuhnya, sehingga ia akan merasakan delusi gatal yang amat sangat. Namun, sampai saat ini tidak ada pengobatan atau terapi yang berhasil menyembuhkan penyakit ini.

Aku menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya. Tapi, kau tahu apa yang membuatku muak? Ketika mataku melihat Kevin, ia percaya penuh pada perkataan psikolog tersebut! Seakan aku memang pantas disebut orang tak waras! Seakan dia dan psikolog itu berhak menghakimi kemampuan logikaku! Sialan!

Sampai saat ini, aku masih tidak menerima diagnosis yang aku dapatkan. Aku ini masih waras! Tapi, setiap kali aku menceritakan kondisiku yang sebenarnya kepada Kevin, ia hanya memandangku sedih lalu memelukku. Sama sekali tidak terbersit kepercayaan dari matanya. Aku hanya dikasihani, layaknya orang-orang dengan gangguan mental di panti-panti. Aku muak!

Aku harus bergegas menunjukkan pada Kevin kondisiku yang sebenarnya. Karena kondisiku semakin melemah. Selain itu, makhluk itu kini tidak lagi merayap secara agresif di sekujur tubuhku. Akan tetapi, justru makhluk itu kini berdiam diri di bagian bawah tulang rusukku, berdenyut-denyut seakan sedang membentuk kepompong. Perlahan kepompong itu semakin besar. Pikiran horror menghantuiku ketika kepompong itu menetas dan makhluk itu menembus kulitku. Tidak, tidak! Itu tidak boleh terjadi!

Pagi ini aku mengurung diri di dalam kamar. Kevin mengetuk pintu.

"Vir, apa yang kau lakukan? Buka pintunya, Vir." suaranya di balik pintu.

"Kau tidak percaya padaku, kan? Iya, kan?!" tanyaku.

"Aku. Aku percaya padamu, Vira! Tapi mungkin kamu han-"

"BOHONG!!"

"Vir..." ucapnya pelan.

"Jika kamu tidak percaya... Maka aku akan membuat kamu percaya..."

Kevin menggedor-gedor pintu meminta untuk dibukakan, tapi aku tidak memperdulikannya. Lalu aku mengeluarkan pisau dapur yang aku bawa dari ruang makan secara sembunyi-sembunyi. Aku hunuskan pisau tersebut ke arah perutku, tempat kepompong itu bersemayam. Semua harus berakhir sampai di sini, pikirku. Lalu dengan pasti aku tancapkan pisau itu ke arah perutku. Aku menjerit parau.

"VIRA!! VIRA STOP!! APAPUN YANG KAMU LAKUKAN, HENTIKAN SEKARANG JUGA!!" Kevin berteriak panik dan berusaha mendobrak pintu itu.

Saat Kevin berhasil menerobos pintu itu, semua sudah terlambat. Aku sudah mengoyak perutku, merobek kepompong itu hingga terbuka dan mencongkel gumpalan daging yang berada dalam perutku. Darah tak berhenti mengalir dari perutku, tapi aku tak menghiraukannya. Parasit laknat itu kini berada di tanganku. Kevin kini menatapku dengan nanar melihat kondisiku.

"Kau percaya padaku, kan Kevin? Lihat... Aku tidak berkhayal, kan?" bisikku sambil menyerahkan gumpalan daging itu ke tangan Kevin.

Kevin menerima seonggok daging itu dengan tangan bergetar. Matanya menitikkan air mata, dan untuk pertama kalinya aku mendengar Kevin menjerit histeris.

"TIDAK! TIDAK!! VIRA APA YANG TELAH KAU LAKUKAN??!!"
ucapnya histeris sambil memeluk gumpalan daging itu.

Tapi aku tak lagi bisa mencerna kata-kata yang ia ucapkan. Kesadaranku semakin menjauh.

"YA TUHAN!! VIRA, DIA BAYIMU...!! BAYI KECIL KITA!! YA TUHAN!!"

Suara Kevin semakin tidak terdengar. Teriakan itu kini menjadi bisikan. Ingin rasanya aku bertanya pada Kevin...

Kevin, kenapa kau menangis?

Aku sembuh.

Aku sudah sembuh.

Sekarang, biarkanlah aku beristirahat...

-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar