Gatal.
Itulah yang aku rasakan selama tiga bulan terakhir. Aku hanya bisa
menggaruk, menggaruk dan menggaruk seluruh tubuhku, mencakar kulitku.
Hingga tanpa kusadari kulitku kian terkelupas akibat goresan kuku. Aku
tak bisa mengontrolnya. Sungguh, aku tidak bisa! Katakan saja aku
sinting, tapi ketika kau berada di posisiku kau akan paham apa maksudku.
Kondisiku ini mulai kusadari dua
minggu setelah aku dan Kevin pulang berbulan madu dari Bangkok. Malam
itu aku tertidur di sebelah Kevin seperti biasa, layaknya pengantin
baru. Namun, di tengah malam aku terbangun. Tidurku yang lelap terganggu
karena aku mendengar suara gemerisik. Awalnya aku kira itu suara angin
yang berdesir di luar jendela yang membuat ranting pohon bergoyang. Aku
mengamati luar jendela kamar, dan pohon sama sekali tak bergerak, bahkan
tak ada angin yang bertiup. Oleh karena rasa lelah yang menghantui, aku
tidak lagi mempermasalahkan hal tersebut dan memilih untuk kembali
tidur.
Pagi harinya, aku mengantar kepergian Kevin menaiki taksi
menuju bandara karena ia harus pergi ke luar kota untuk menemui
kliennya. Ketika aku kembali ke ruang tidur, aku mendapati bantalku
ternoda bercak darah.
Aku menatap cermin lalu memeriksa dahi,
pipi, dagu bahkan mulutku namun tak ada luka yang terlihat. Hingga
akhirnya aku menyentuh daun telinga kiriku, dan menemukan serpihan darah
kering yang sepertinya menetes dari dalam telingaku tadi malam.
"Mungkin infeksi," pikirku. Aku menyesal betapa naifnya pemikiranku saat itu.
Malam harinya, aku kembali terbangun. Suara gemerisik itu semakin keras
dan jelas. Bukan. Bukan gemerisik. Suara itu seperti makhluk yang
merayap. Darahku berdesir ketika menyadari bahwa suara itu tidak berasal
dari luar. Melainkan, suara itu berasal dari dalam kepalaku. Suara
seperti makhluk yang sedang merayap perlahan, memasuki rongga telingaku.
Aku panik, dan bergegas menuju meja rias untuk mengambil cotton bud.
Aku berusaha mengorek makhluk apapun yang sedang merangkak masuk ke
dalam telingaku dengan cotton bud, namun tak ada hasil.
Di
dalam kamar mandi aku meneteskan air ke telingaku dan
menggoyang-goyangkan kepalaku, berharap makhluk itu keluar, tapi tetap
nihil. Aku pasrah. Malam itu aku lalui tanpa istirahat.
Peristiwa ini berlangsung selama 5 hari, dan itu membuatku sangat
frustrasi. Aku kesulitan tidur, aktivitasku sehari-hari terganggu dan
aku menjadi mudah marah. Pada hari ke-3 aku berinisiatif untuk menemui
dokter THT, namun tidak ada indikasi serangga atau makhluk lain memasuki
telingaku. Hal itu justru membuat aku semakin depresi. Dokter
mengatakan aku harus beristirahat yang cukup, karena mungkin suara yang
aku dengar hanyalah akibat dari kondisi tubuhku yang kelelahan. Tapi apa
yang bisa kulakukan? Memejamkan mata saja aku sulit!
Menjelang
hari ke-6, Kevin telah kembali ke rumah dan entah mengapa suara-suara
tersebut perlahan berhenti. Mungkin dokter benar. Mungkin aku hanya
kelelahan. Mungkin memang suara merayap itu hanya khayalanku semata.
Bohong.
Dua minggu setelah kejadian itu berakhir, kulitku menunjukkan ruam-ruam
di sekujur tubuhku. Rasanya sangaaaat gatal! Aku selalu tergoda untuk
menggaruknya, namun Kevin selalu melarangku. Ia menganggap mungkin
ruam-ruam merah itu merupakan biang keringat atau mungkin gejala alergi
jadi sebaiknya tidak digaruk untuk tidak memperparah keadaan. Aku
menurutinya dengan menutupi titik-titik tubuhku yang terkena ruam dengan
plester. Setidaknya aku tidak akan spontan menggaruknya ketika aku
tertidur.
Tiga hari berlalu namun tubuhku tidak menunjukkan
tanda-tanda sembuh dari bercak merah tersebut. Ingin rasanya aku
menggaruknya sepuas hatiku.
Esok paginya, aku menemukan
sesuatu yang mengejutkan. Salah satu plester yang menutupi ruam di
dadaku terlihat menggelembung. Rasa penasaran memanduku untuk melepas
plester itu. Dibaliknya aku menemukan kulitku yang terkena ruam kini
sedikit mengembung. Seperti bisul, namun yang ini berukuran sebesar ibu
jariku.
"A-apa ini?" tanyaku pada diri sendiri.
Dengan
perlahan jariku aku arahkan ke bisul itu. Ketika jariku menyentuh
permukaan kulit, tanpa dapat ku antisipasi bisul tersebut ternyata
menggeliat-geliut. Aku menarik napas dan melangkah mundur hingga
terjatuh di kamar mandi. Aku mencoba berdiri kembali dan menatap cermin.
Sekali lagi aku menyentuh bisul itu, dan ia kembali menggeliat. Aku
tidak berhalusinasi. Aku menjerit histeris dan menghampiri Kevin yang
sedang berada di ruang televisi. Aku memaksanya untuk mengamati bisul di
atas dadaku. Bukannya ia menenangkan diriku, justru ia mengerenyitkan
dahi.
"Apa maksudmu? Aku tidak melihat apapun?" tanyanya bingung.
"Jangan bercanda, Kevin!! Kau tahu ada sesuatu yang menggeliat di situ!!" jawabku geram.
"Sunggguh, Vir. Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Are you okay?"
Aku kira Kevin bergurau tapi ternyata tidak. Kevin serius. Dia memang
tidak dapat melihat makhluk itu. Makhluk yang sedang menggeliat di bawah
kulitku.
Pada awalnya aku menganggap aku hanya berimajinasi
karena kelelahan. Kau percaya itu? Aku berusaha menenangkan diriku
sendiri, dengan menganggap diriku gila! Fantastis! Konyol. Dan idiot.
Tapi setelah beberapa hari aku mengetahui bahwa apa yang aku rasakan
ini nyata. Rasa gatal itu nyata, begitupun makhluk yang berada di bawah
kulitku. Ini berbeda dengan suara sebelumnya! Aku dapat melihatnya
menggeliat di bawah kulitku! Tapi aku tidak mengerti apa yang membuat
Kevin tidak dapat melihatnya.
Rasa gatal yang sangat, membuatku
memutuskan untuk menggaruk ruam tempat makhluk itu berada. Pada awalnya
aku hanya menggaruk ruam-ruam di sekitar tempat makhluk itu, tapi tanpa
sengaja jariku menyentuh bisul itu. Tiba-tiba, makhluk itu menggeliat
dan merayap dengan cepat menjauhi tanganku, dari atas dadaku, lalu
bahuku, berlanjut ke punggungku. Makhluk itu menyusuri sekujur tubuhku
melalui jalur bawah epidermis.
Terkejut, takut, jijik marah
semua bercampur aduk dalam hatiku. Akal sehat hilang dari otakku,
sehingga dengan panik aku menggaruk seluruh tubuhku. Akan tetapi, seakan
mengejekku makhluk itu selalu merayap menjauhi tempat tanganku
menyentuh. Jika aku menggaruk punggungku, maka dia merayap ke pundakku.
Jika aku menggaruk pundakku, maka dia berpindah ke bahuku. Hal itu terus
terjadi hingga aku kehabisan nafas untuk terus melawan.
10
hari berlalu, dan kondisiku semakin parah. Yang tadinya hanya usapan,
kini menjadi garukan, bahkan cakaran. Kulitku lecet dan terkelupas
karena kukuku yang selalu menggores kulit dengan kasar. Tak jarang darah
segar menetes dari lukaku. Aku bahkan tidak bisa keluar dari rumah
kecuali dengan menggunakan baju lengan panjang dan sarung tangan yang
menutupi seluruh kulitku.
Kevin, yang semakin khawatir dengan
kondisiku, mengantarku menemui dokter kulit untuk memeriksakan diriku.
Tapi, hasilnya nihil. Dokter tidak menemukan apapun. Padahal, ketika
dokter tersebut menyatakan diagnosisnya, makhluk itu sedang berada di
atas telapak tanganku. Menggeliat. Menghina diriku yang tak berdaya.
Kami pun juga mengunjungi dokter lain membahas perihal kesehatanku.
3 hari setelah itu, Kevin mengajukan solusi lain. Ia mengantarkanku
menemui seorang psikolog salah satu kenalannya. Jika penyebabnya bukan
berwujud fisik, mungkin penyebabnya berbentuk psikologis, begitu
katanya. Aku sedikit tersinggung atas sarannya itu. Memangnya aku
terlihat gila di matanya? Tapi karena aku percaya bahwa Kevin
benar-benar perhatian padaku, maka aku menurutinya.
Setelah
konsultasi, wawancara dan observasi yang lama, akhirnya psikolog itu
menemukan diagnosis untukku. Ia bilang aku memiliki DoP (Delusions of
Parasitosis) atau biasa disebut Parasitosis. Orang yang memiliki
Parasitosis biasanya mempercayai bahwa di dalam kulitnya ada makhluk,
terutama serangga, yang menjadi parasit dalam tubuhnya, sehingga ia akan
merasakan delusi gatal yang amat sangat. Namun, sampai saat ini tidak
ada pengobatan atau terapi yang berhasil menyembuhkan penyakit ini.
Aku menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya. Tapi, kau tahu apa
yang membuatku muak? Ketika mataku melihat Kevin, ia percaya penuh pada
perkataan psikolog tersebut! Seakan aku memang pantas disebut orang tak
waras! Seakan dia dan psikolog itu berhak menghakimi kemampuan logikaku!
Sialan!
Sampai saat ini, aku masih tidak menerima diagnosis
yang aku dapatkan. Aku ini masih waras! Tapi, setiap kali aku
menceritakan kondisiku yang sebenarnya kepada Kevin, ia hanya
memandangku sedih lalu memelukku. Sama sekali tidak terbersit
kepercayaan dari matanya. Aku hanya dikasihani, layaknya orang-orang
dengan gangguan mental di panti-panti. Aku muak!
Aku harus
bergegas menunjukkan pada Kevin kondisiku yang sebenarnya. Karena
kondisiku semakin melemah. Selain itu, makhluk itu kini tidak lagi
merayap secara agresif di sekujur tubuhku. Akan tetapi, justru makhluk
itu kini berdiam diri di bagian bawah tulang rusukku, berdenyut-denyut
seakan sedang membentuk kepompong. Perlahan kepompong itu semakin besar.
Pikiran horror menghantuiku ketika kepompong itu menetas dan makhluk
itu menembus kulitku. Tidak, tidak! Itu tidak boleh terjadi!
Pagi ini aku mengurung diri di dalam kamar. Kevin mengetuk pintu.
"Vir, apa yang kau lakukan? Buka pintunya, Vir." suaranya di balik pintu.
"Kau tidak percaya padaku, kan? Iya, kan?!" tanyaku.
"Aku. Aku percaya padamu, Vira! Tapi mungkin kamu han-"
"BOHONG!!"
"Vir..." ucapnya pelan.
"Jika kamu tidak percaya... Maka aku akan membuat kamu percaya..."
Kevin menggedor-gedor pintu meminta untuk dibukakan, tapi aku tidak
memperdulikannya. Lalu aku mengeluarkan pisau dapur yang aku bawa dari
ruang makan secara sembunyi-sembunyi. Aku hunuskan pisau tersebut ke
arah perutku, tempat kepompong itu bersemayam. Semua harus berakhir
sampai di sini, pikirku. Lalu dengan pasti aku tancapkan pisau itu ke
arah perutku. Aku menjerit parau.
"VIRA!! VIRA STOP!! APAPUN YANG KAMU LAKUKAN, HENTIKAN SEKARANG JUGA!!" Kevin berteriak panik dan berusaha mendobrak pintu itu.
Saat Kevin berhasil menerobos pintu itu, semua sudah terlambat. Aku
sudah mengoyak perutku, merobek kepompong itu hingga terbuka dan
mencongkel gumpalan daging yang berada dalam perutku. Darah tak berhenti
mengalir dari perutku, tapi aku tak menghiraukannya. Parasit laknat itu
kini berada di tanganku. Kevin kini menatapku dengan nanar melihat
kondisiku.
"Kau percaya padaku, kan Kevin? Lihat... Aku tidak
berkhayal, kan?" bisikku sambil menyerahkan gumpalan daging itu ke
tangan Kevin.
Kevin menerima seonggok daging itu dengan tangan
bergetar. Matanya menitikkan air mata, dan untuk pertama kalinya aku
mendengar Kevin menjerit histeris.
"TIDAK! TIDAK!! VIRA APA YANG TELAH KAU LAKUKAN??!!"
ucapnya histeris sambil memeluk gumpalan daging itu.
Tapi aku tak lagi bisa mencerna kata-kata yang ia ucapkan. Kesadaranku semakin menjauh.
"YA TUHAN!! VIRA, DIA BAYIMU...!! BAYI KECIL KITA!! YA TUHAN!!"
Suara Kevin semakin tidak terdengar. Teriakan itu kini menjadi bisikan. Ingin rasanya aku bertanya pada Kevin...
Kevin, kenapa kau menangis?
Aku sembuh.
Aku sudah sembuh.
Sekarang, biarkanlah aku beristirahat...
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar