Di
keluarga tertentu di Jepang, seorang ibu akan meneruskan tiga tradisi
kepada putri mereka. Biarkan kujelaskan mengenai tradisi-tradisi itu.
Pertama, anak perempuan adalah milik ibu mereka dan akan diperlakukan
seperti itu. Jika seorang wanita melahirkan dua atau tiga anak
perempuan, ia akan memilih salah satunya untuk menjadi “miliknya”. Putri
yang terpilih ini akan diberikan dua nama, salah satunya adalah nama
aslinya. Nama asli itu tak diketahui oleh siapapun, kecuali ibunya.
Nama tersebut juga akan memiliki cara pengucapan yang berbeda dengan
huruf kanjinya, sehingga bila orang lain menemukannya dan membacanya,
orang tersebut takkan tahu cara mengucapkan nama aslinya. Bahkan jika
ibu itu sedang sedang berdua saja dengan putrinya, nama itu tetap takkan
digunakan.
Nama itu digunakan untuk memperat ikatan antara ibu dan putrinya dan membuktikan bahwa anak tersebut adalah “milik” ibunya.
Sebagai tambahan, pada hari ibu itu memberi nama anak perempuannya, ia
harus mempersiapkan sebuah meja rias. Putrinya tersebut tak diizinkan
melihat meja rias tersebut kecuali pada hari ulang tahunnya yang ke-10,
ke-13, dan ke-16.
Kedua, untuk meningkatkan nilai “barang
miliknya” tersebut, ibu tersebut akan memaksakan “didikan” tersendiri
kepada anaknya tersebut sejak usia dini (anak perempuan lain yang tak
dipilihnya akan dididik secara biasa). Contohnya, ibu tersebut akan
memaksa putrinya untuk:
* Menyayat wajah kucing atau anjing
*
Menyimpan patung tanpa kepala sebagai “peliharaannya” (bahkan keluarga
dan orang-orang lain yang ada di sekitar anak perempuan tersebut akan
berpura-pura seolah patung tanpa kepala itu hidup untuk mengelabui gadis
itu agar percaya bahwa mainannya benar-benar hidup).
* Memisahkan bagian-bagian tubuh laba-laba dan kemudian menyatukannya kembali seusai bentuk semula.
* Memakan kotorannya sendiri dan meminum air kencing (baik miliknya sendiri maupun milik orang lain)
Ini hanya sebagian kecil sebab aku tak sanggup untuk menulis
keseluruhannya. Percaya saja kepadaku bahwa mendengar cerita
selengkapnya akan membuat perutmu mual.
Namun ini belumlah
seberapa. “Didikan-didikan” ini akan berjalan hingga anak itu berumur 13
tahun. Kemudian ibu tersebut akan melakukan tiga ritual upacara. Inilah
tradisi yang ketiga.
Upacara pertama dilakukan saat anak itu
berumur 10 tahun. Sang ibu akan mendudukkan anaknya di depan sebuah meja
rias dan memerintahkan anaknya memberikan kukunya sebagai persembahan.
Inilah pertama kalinya anak tersebut menyadari keberadaan meja rias
tersebut. Dan tentu saja, persembahan itu dilakukan dengan cara mencabut
kuku itu secara keseluruhan.
Anak tersebut akan mencabut
kukunya sendiri dan memberikannya kepada ibunya. Ibunya kemudian akan
menaruh kuku tersebut di dalam sebuah kertas bertuliskan nama rahasia
putrinya di laci teratas meja rias tersebut.
Setelah itu, sang
ibu akan duduk seharian di depan meja rias itu untuk mengakhiri upacara
tersebut. Upacara kedua dilakukan saat sang anak perempuan berumur 13
tahun. Seperti upacara pertama, anak tersebut harus memberikan
persembahan. Kali ini yang harus ia persembahkan adalah giginya.
Ia harus mencabut giginya sendiri dan kemudian ibunya akan menaruhnya
ke dalam laci kedua berserta kertas bertuliskan nama rahasia sang anak.
Sekali lagi, sang ibu akan mengakhiri upacara dengan duduk di depan meja
rias tersebut hingga hari berakhir.
Tiga tahun kemudian,
ketika anak itu berumur 16 tahun, upacara terakhir pun dilakukan. Dalam
upacara terakhir, sang ibu akan memakan rambut anaknya sendiri di depan
meja rias. Harus dipastikan bahwa sang ibu harus mencerna rambut itu
agar menjadi satu dengan dirinya. Rambut anak perempuannya itu harus
dicukur sampai habis dan ibunya akan menatap ke dalam cermin di meja
rias, memakannya seolah-olah ia dalam keadaan kesurupan. Apa yang anak
perempuannya hanya bisa lakukan hanyalah menatapnya.
Akhirnya
saat ibu tersebut selesai memakan rambut, pada saat itu ia akan
mengatakan nama asli anak gadisnya itu. Saat itu akan menjadi pertama
sekaligus terakhir kalinya ia mendengar namanya yang sesungguhnya.
Namun kenyataan yang menunggu setelah upacara itu selesai sangatlah
mengerikan. Mulai hari itu, sang ibu bukanlah manusia lagi, melainkan
sebuah “cangkang” kosong. Ia akan terus mengunyah rambut anaknya siang
dan malam, seolah-olah jiwa dan kesadarannya tak ada lagi. Ia harus
dibawa ke suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang tahu. Ia juga
harus hidup dalam isolasi seumur hidupnya, tak boleh bertemu dan
berhubungan dengan siapapun. Semua upacara ini bertujuan menyiapkan ibu
tersebut ke tempatnya, yakni “surga” dalam keadaan murni dan suci.
Bagaimana dengan anak perempuannya? Ia akan dibawa untuk diasuh oleh
bibinya. Oleh sebab itu, keluarga pada zaman itu memilih untuk memiliki
lebih dari satu anak perempuan. Ia akan diasuh oleh bibinya itu
sementara ibunya dipercaya “menghilang ke surga”.
Sang anak
kemudian akan tumbuh dewasa, menemukan lelaki yang cocok dengan dirinya,
menikah, dan memiliki anak. Kemudian siklus ini akan diulang terhadap
putrinya sendiri.
Hanya itu yang berhasil kuperoleh tentang
keluarga-keluarga ini. Ada banyak detail sebenarnya, namun terlalu
panjang jika kujelaskan di sini. Aku tahu banyak yang tak mengerti,
akupun juga. Namun ini adalah kunci untuk memahami apa yang berada di
dalam rumah itu dan apa yang terjadi pada Saori.
BERSAMBUNG...
Gambling 101 – The Ultimate Guide to Online Gambling in 2021
BalasHapusThere are 구미 출장샵 so many different 나주 출장안마 types of online gambling that you 광명 출장샵 might have to 사천 출장샵 choose a reputable online gambling website 남양주 출장마사지 to play at. You might even