Jumat, 16 Desember 2016

Tiga Suara

Matahari tak juga terbit walau jam sudah menunjukkan angka sepuluh.


Andai aku berada di negeri dengan empat musim, hal ini tentu tak akan menjadi masalah. Namun posisiku sekarang ada di Indonesia, Negara dilintasi jalur khatulistiwa. Dengan kata lain, tak ada musim dingin maupun musim panas di sini. Gerak matahari senantiasa teratur, terbit sekitar pukul enam pagi dan tenggelam di sore hari.


Jadi kenapa langit masih gelap gulita hingga saat ini?


Aku dan pegawai yang lain sepertinya sama-sama tak acuh. Kami semua berlanjut mengisi hari dengan kegiatan normal seakan tak ada apapun. Bunyi pita printer, serta derit mesin fax begitu riuh bersahutan di dalam kantor.


Kami saling bertanya, walau tentu saja tak ada jawaban memuaskan yang tercipta. Raut wajah cemas tentu saja terukir di wajah mereka. Sesekali aku menoleh keluar, mengharap kemunculan sang mentari yang absen dari biasanya.


Kulihat acara di televisi menyiarkan berbagai kehebohan. Kalau tak salah aku membaca headline news berisikan kemunculan benda raksasa dari di luar angkasa. Ukurannya begitu gigatis, hingga melebihi diameter sang rembulan. Permukaan benda itu bahkan sanggup menghalangi laju sinar sang surya, membuat pagi hari ini seakan masih ada di pertengahan malam.


Apa ini semacam serangan alien? Benak semua orang tentu saja semakin gundah, ketidakpastian menyerang sanubari siapapun yang ada di sana. Mereka tak fokus dalam bekerja.


Sebuah gemuruh hebat tiba-tiba terdengar entah dari mana, suaranya begitu nyaring hingga mengejutkan tiap insan yang ada. Aku menangkapnya seperti suara bunyi terompet raksasa. Gaungnya begitu keras hingga menggetarkan kaca ruangan, berlangsung begitu lama tanpa jeda di antaranya.


Orang-orang di sekelilingku berubah panik seraya lari berhamburan. Mereka keluar dari ruangan dengan wajah pucat tanpa rona kehidupan.


Ruangan besar yang kutinggali kini tak ubahnya seperti tempat pengungsian. Hiruk pikuk terjadi di mana-mana. Orang-orang sibuk dengan kepentingan masing-masing. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menggapai telepon selular, lalu menghubungi kerabat terdekat.


Aku hidup sebatangkara, jadi aku melewatkan proses konfirmasi keselamatan anggota keluarga. Wajahku menengadah tinggi seraya aku bertumpu pada dinding kaca di pojok ruangan. Langit di atas sana begitu gelap, tak ada gemerlap bintang maupun kehadiran sang rembulan.


Kaca yang kupegang lambat laun terasa bergetar, tiap detik yang terlewatkan semakin menegaskan entakan di sana, mungkin resonasi suara keras di luarlah penyebabnya. Karena suara terompet dari langit itu terus bergema, seakan enggan untuk berhenti dari tugasnya.


Kututup dua telinga ini, seraya merintih menahan sakit serta ketakutan yang melanda. Butuh lama hingga akhirnya suara misterius itu mereda. Goncangan psikologis terlanjur dicipta, meneror siapapun yang mendengarnya.


Lorong di kantor begitu sesak dipenuhi mereka yang panik. Tangga darurat riuh diisi suara tangis dan pilu. Orang-orang terlihat begitu ketakutan. Jantungku berdetak tak beraturan, desiran di dada ini terasa menyakitkan.


Apa yang sebenarnya terjadi?


Goncangan keras menyusul kemudian. Lampu penerangan berkedap kedip menambah horor proses pelarian. Suasana begitu mencekam, sesaat tadi telapak kakiku berpijak pada sesuatu yang empuk. Seseorang pasti terjungkal, lalu terinjak-injak tanpa ada yang sadar. Sungguh, aku bahkan tak bisa leluasa menggerakan lengan sendiri. Tubuhku terhimpit dalam kerumunan orang-orang berusaha menyelamatkan diri.


Suara gemuruh terdengar semakin keras, bising kegaduhan tercipta di luar bangunan. Susah payah aku akhirnya berhasil keluar, hanya untuk disambut dengan pemandangan yang begitu menakutkan.


Angin bertiup kencang seraya gedebum petir meledak di angkasa. Kilatan cahaya melecut menerangi malam dalam rangkaian sambaran. Sekilas tadi kulihat awan tebal menggumpal tebal layaknya langit-langit bangunan.


Tanah yang kupijak kini bergoyang hebat, puing reruntuhan berjatuhan di sekitar. Kutundukkan sedikit badanku, seraya berharap cemas puing bangunan itu tidak menimpa kepalaku.


Jeritan putus asa tercipta sebagai respon wajar ketakutan seorang manusia. Di mana-mana aku bisa mendengar suara tangis yang membahana.


Teror yang kualami bertambah keras, seiring dengan kemunculan dengung terompet untuk kedua kalinya. Kurasakan tubuh ini bergetar, dientak gelombang suara dari angkasa. Pandangan mataku menelisik tajam, berusaha mencari asal muasal kegaduhan, walau tentu saja gagal dikarenakan gelapnya suasana.


Semua orang secara serempak menoleh menatap sesuatu, kulit wajah mereka terlihat kemerahan memantulkan sumber cahaya.


Kulihat letusan magma tercipta tepat di penghujung kota. Cairan lahar pijar, berpendar terang dalam nyala yang panas. Muntahan isi bumi berhamburan terbang ke angkasa. Gelombang suara menyusul kemudian, mengirim suara ledakan hebat disertai kejut menyakitkan.


Semua orang serempak terjungkal, kaca gedung tempatku bekerja pecah kala sesuatu melesat cepat menubruk permukaannya. Dentuman hebat tercipta. Bongkahan batu meleleh terciprat ke segala arah, pemandangan itu tak ubahnya seperti hujan meteor, mengucur deras dari angkasa.


Hidungku terasa sakit, kala mencium bau blerang bercampur dengan aroma busuk daging yang terbakar. Beberapa orang yang tak beruntung meninggal seketika, tubuh mereka dilahap seutuhnya, hancur dihantam projektil mematikan.


Ya Tuhan, bencana macam apa ini?


Batinku berteriak ketakutan, mengharap pertolongan walau entah datang dari mana. Kami sontak saja berlari menjauhi sumber ledakan, hanya untuk dikejutkan oleh kemunculan dinding air raksasa dari sisi berlawanan.


Gelombang Tsunami, begitulah mereka menyebutnya. Gulungan ombak itu mungkin setara dengan gedung sepuluh lantai. Datang menyapa dari ujung cakrawala.


Haruskah aku pasrah? Menerima akhir dari hidupku seperti ini? Mati tanpa perjuangan.


Tidak!


Aku pasti bisa selamat. Gedung tempatku bekerja memiliki lima belas lantai. Aku mencuri start untuk menyelamatkan diri, sementara orang lain termenung kosong menatap maut di kejauhan. Mereka begitu pasrah menerima segalanya.


Aku tidak ingin mati di sini.


Dua kakiku melangkah cepat, berlari menaiki tangga darurat. Tak perlu aku jatuh tersandung, di setiap sudut dan jalur pijakan terdapat stiker fluorescence berpendar berwarna hijau sebagai penunjuk arah.


Suara gedebum tercipta begitu keras, seiring dengan datangnya empasan air menabrak dinding bangunan. Tubuhku sontak tenggelam, kaki dan lenganku berpegang erat pada pagar di samping tangga, berusaha agar tidak terseret arus.


Airnya berwarna hitam pekat. Aku tak punya pijakan. Lenganku menggapai tinggi mengharap pertolongan. Aku tak yakin bisa selamat.


Seseorang menarik pergelangan tanganku, menyelamatkanku dari terkaman air bah. Sungguh aku sangat berterima kasih padanya. Gadis cantik—dengan rambut lurus panjang berwarna hitam—terlihat begitu lusuh dengan luka goresan di betisnya.


Lewat sisa tenaga yang kumiliki, kubopoh gadis itu untuk menaiki sisa tangga, menghindar dari gulungan air bah.


Tadinya aku kira bangunan ini cukup kokoh untuk menahan derasnya air. Tapi aku salah. Lantai yang kupijak terasa bertambah sudut kemiringannya. Suara gemercit besi yang bengkok terdengar sayup dalam riuhnya gemuruh.


Kami berdua tiba di atap bangunan, termenung menatap kemusnahan massal di kejauhan. Lututku terasa lemas, aku jatuh bersimpuh dengan napas terisak.


Gunung tinggi di penghujung cakrawala kini hilang keberadaannya, pecah beserakan diempas gelombang angin dahsyat berwarna kemerahan. Air bah yang menggulung tadi tak lebih dari adegan pembuka akan rangkaian dinding air lainnya. Letusan magma tadi hanyalah awal dari rangkaian kehancuran yang merobek seisi planet. Tanah tercungkil tinggi, menciptakan bongkahan plat bumi mencuat.


Tak ada yang bisa selamat dari kehancuran itu. Bumi benar-benar musnah di detik itu juga.


Aku menoleh, menyaksiksan kedatangan gelombang air berikutnya datang mengempas, menenggelamkan segala sesuatu, termasuk gedung tempatku bertahan. Ledakan hebat tercipta sebagai penutup. Gunung-gunung kokoh hancur layaknya debu, laut menguap, tanah mengeluarkan api menyala. Gravitasi hilang begitu saja.


Pandanganku hilang seketika, aku tak sadarkan diri saat itu juga.





Suara terompet raksasa kembali terdengar. Ini ketiga kalinya benda itu berkumandang. Pandanganku begitu buram, telingaku sedikit berdengung. Berulang kali kukerjapkan kelopak mata, berusaha untuk mengumpulkan kesadaran.


Aku terbangun, bersamaan dengan ribuan, atau mungkin jutaan manusia lainnya yang berdiri di sekelilingku.


...


Bingung
Cemas
Takut
Malu


Mereka semua mengukir raut wajah yang sama denganku.


Karena bagaimanapun juga, kami semua dikumpulkan begitu saja di sebuah tempat datar. Udaranya terasa begitu panas. Masing-masing berdiri rapi tanpa sehelaipun busana.


Sebuah suara dari singgasana raksasa berucap keras mengagetkan kami semua.


“Ini adalah hari penghakiman.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar