Matahari tak juga terbit walau jam sudah menunjukkan angka sepuluh.
Andai aku berada di negeri dengan empat musim, hal ini tentu tak akan
menjadi masalah. Namun posisiku sekarang ada di Indonesia, Negara
dilintasi jalur khatulistiwa. Dengan kata lain, tak ada musim dingin
maupun musim panas di sini. Gerak matahari senantiasa teratur, terbit
sekitar pukul enam pagi dan tenggelam di sore hari.
Jadi kenapa langit masih gelap gulita hingga saat ini?
Aku dan pegawai yang lain sepertinya sama-sama tak acuh. Kami semua
berlanjut mengisi hari dengan kegiatan normal seakan tak ada apapun.
Bunyi pita printer, serta derit mesin fax begitu riuh bersahutan di
dalam kantor.
Kami saling bertanya, walau tentu saja tak
ada jawaban memuaskan yang tercipta. Raut wajah cemas tentu saja
terukir di wajah mereka. Sesekali aku menoleh keluar, mengharap
kemunculan sang mentari yang absen dari biasanya.
Kulihat acara di televisi menyiarkan berbagai kehebohan. Kalau tak salah
aku membaca headline news berisikan kemunculan benda raksasa dari di
luar angkasa. Ukurannya begitu gigatis, hingga melebihi diameter sang
rembulan. Permukaan benda itu bahkan sanggup menghalangi laju sinar sang
surya, membuat pagi hari ini seakan masih ada di pertengahan malam.
Apa ini semacam serangan alien? Benak semua orang tentu saja semakin
gundah, ketidakpastian menyerang sanubari siapapun yang ada di sana.
Mereka tak fokus dalam bekerja.
Sebuah gemuruh hebat
tiba-tiba terdengar entah dari mana, suaranya begitu nyaring hingga
mengejutkan tiap insan yang ada. Aku menangkapnya seperti suara bunyi
terompet raksasa. Gaungnya begitu keras hingga menggetarkan kaca
ruangan, berlangsung begitu lama tanpa jeda di antaranya.
Orang-orang di sekelilingku berubah panik seraya lari berhamburan.
Mereka keluar dari ruangan dengan wajah pucat tanpa rona kehidupan.
Ruangan besar yang kutinggali kini tak ubahnya seperti tempat
pengungsian. Hiruk pikuk terjadi di mana-mana. Orang-orang sibuk dengan
kepentingan masing-masing. Hal pertama yang mereka lakukan adalah
menggapai telepon selular, lalu menghubungi kerabat terdekat.
Aku hidup sebatangkara, jadi aku melewatkan proses konfirmasi
keselamatan anggota keluarga. Wajahku menengadah tinggi seraya aku
bertumpu pada dinding kaca di pojok ruangan. Langit di atas sana begitu
gelap, tak ada gemerlap bintang maupun kehadiran sang rembulan.
Kaca yang kupegang lambat laun terasa bergetar, tiap detik yang
terlewatkan semakin menegaskan entakan di sana, mungkin resonasi suara
keras di luarlah penyebabnya. Karena suara terompet dari langit itu
terus bergema, seakan enggan untuk berhenti dari tugasnya.
Kututup dua telinga ini, seraya merintih menahan sakit serta ketakutan
yang melanda. Butuh lama hingga akhirnya suara misterius itu mereda.
Goncangan psikologis terlanjur dicipta, meneror siapapun yang
mendengarnya.
Lorong di kantor begitu sesak dipenuhi
mereka yang panik. Tangga darurat riuh diisi suara tangis dan pilu.
Orang-orang terlihat begitu ketakutan. Jantungku berdetak tak beraturan,
desiran di dada ini terasa menyakitkan.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Goncangan keras menyusul kemudian. Lampu penerangan berkedap kedip
menambah horor proses pelarian. Suasana begitu mencekam, sesaat tadi
telapak kakiku berpijak pada sesuatu yang empuk. Seseorang pasti
terjungkal, lalu terinjak-injak tanpa ada yang sadar. Sungguh, aku
bahkan tak bisa leluasa menggerakan lengan sendiri. Tubuhku terhimpit
dalam kerumunan orang-orang berusaha menyelamatkan diri.
Suara gemuruh terdengar semakin keras, bising kegaduhan tercipta di
luar bangunan. Susah payah aku akhirnya berhasil keluar, hanya untuk
disambut dengan pemandangan yang begitu menakutkan.
Angin bertiup kencang seraya gedebum petir meledak di angkasa. Kilatan
cahaya melecut menerangi malam dalam rangkaian sambaran. Sekilas tadi
kulihat awan tebal menggumpal tebal layaknya langit-langit bangunan.
Tanah yang kupijak kini bergoyang hebat, puing reruntuhan berjatuhan di
sekitar. Kutundukkan sedikit badanku, seraya berharap cemas puing
bangunan itu tidak menimpa kepalaku.
Jeritan putus asa
tercipta sebagai respon wajar ketakutan seorang manusia. Di mana-mana
aku bisa mendengar suara tangis yang membahana.
Teror
yang kualami bertambah keras, seiring dengan kemunculan dengung terompet
untuk kedua kalinya. Kurasakan tubuh ini bergetar, dientak gelombang
suara dari angkasa. Pandangan mataku menelisik tajam, berusaha mencari
asal muasal kegaduhan, walau tentu saja gagal dikarenakan gelapnya
suasana.
Semua orang secara serempak menoleh menatap sesuatu, kulit wajah mereka terlihat kemerahan memantulkan sumber cahaya.
Kulihat letusan magma tercipta tepat di penghujung kota. Cairan lahar
pijar, berpendar terang dalam nyala yang panas. Muntahan isi bumi
berhamburan terbang ke angkasa. Gelombang suara menyusul kemudian,
mengirim suara ledakan hebat disertai kejut menyakitkan.
Semua orang serempak terjungkal, kaca gedung tempatku bekerja pecah
kala sesuatu melesat cepat menubruk permukaannya. Dentuman hebat
tercipta. Bongkahan batu meleleh terciprat ke segala arah, pemandangan
itu tak ubahnya seperti hujan meteor, mengucur deras dari angkasa.
Hidungku terasa sakit, kala mencium bau blerang bercampur dengan aroma
busuk daging yang terbakar. Beberapa orang yang tak beruntung meninggal
seketika, tubuh mereka dilahap seutuhnya, hancur dihantam projektil
mematikan.
Ya Tuhan, bencana macam apa ini?
Batinku berteriak ketakutan, mengharap pertolongan walau entah datang
dari mana. Kami sontak saja berlari menjauhi sumber ledakan, hanya untuk
dikejutkan oleh kemunculan dinding air raksasa dari sisi berlawanan.
Gelombang Tsunami, begitulah mereka menyebutnya. Gulungan ombak itu
mungkin setara dengan gedung sepuluh lantai. Datang menyapa dari ujung
cakrawala.
Haruskah aku pasrah? Menerima akhir dari hidupku seperti ini? Mati tanpa perjuangan.
Tidak!
Aku pasti bisa selamat. Gedung tempatku bekerja memiliki lima belas
lantai. Aku mencuri start untuk menyelamatkan diri, sementara orang lain
termenung kosong menatap maut di kejauhan. Mereka begitu pasrah
menerima segalanya.
Aku tidak ingin mati di sini.
Dua kakiku melangkah cepat, berlari menaiki tangga darurat. Tak perlu
aku jatuh tersandung, di setiap sudut dan jalur pijakan terdapat stiker
fluorescence berpendar berwarna hijau sebagai penunjuk arah.
Suara gedebum tercipta begitu keras, seiring dengan datangnya empasan
air menabrak dinding bangunan. Tubuhku sontak tenggelam, kaki dan
lenganku berpegang erat pada pagar di samping tangga, berusaha agar
tidak terseret arus.
Airnya berwarna hitam pekat. Aku
tak punya pijakan. Lenganku menggapai tinggi mengharap pertolongan. Aku
tak yakin bisa selamat.
Seseorang menarik pergelangan
tanganku, menyelamatkanku dari terkaman air bah. Sungguh aku sangat
berterima kasih padanya. Gadis cantik—dengan rambut lurus panjang
berwarna hitam—terlihat begitu lusuh dengan luka goresan di betisnya.
Lewat sisa tenaga yang kumiliki, kubopoh gadis itu untuk menaiki sisa tangga, menghindar dari gulungan air bah.
Tadinya aku kira bangunan ini cukup kokoh untuk menahan derasnya air.
Tapi aku salah. Lantai yang kupijak terasa bertambah sudut
kemiringannya. Suara gemercit besi yang bengkok terdengar sayup dalam
riuhnya gemuruh.
Kami berdua tiba di atap bangunan,
termenung menatap kemusnahan massal di kejauhan. Lututku terasa lemas,
aku jatuh bersimpuh dengan napas terisak.
Gunung tinggi
di penghujung cakrawala kini hilang keberadaannya, pecah beserakan
diempas gelombang angin dahsyat berwarna kemerahan. Air bah yang
menggulung tadi tak lebih dari adegan pembuka akan rangkaian dinding air
lainnya. Letusan magma tadi hanyalah awal dari rangkaian kehancuran
yang merobek seisi planet. Tanah tercungkil tinggi, menciptakan
bongkahan plat bumi mencuat.
Tak ada yang bisa selamat dari kehancuran itu. Bumi benar-benar musnah di detik itu juga.
Aku menoleh, menyaksiksan kedatangan gelombang air berikutnya datang
mengempas, menenggelamkan segala sesuatu, termasuk gedung tempatku
bertahan. Ledakan hebat tercipta sebagai penutup. Gunung-gunung kokoh
hancur layaknya debu, laut menguap, tanah mengeluarkan api menyala.
Gravitasi hilang begitu saja.
Pandanganku hilang seketika, aku tak sadarkan diri saat itu juga.
…
Suara terompet raksasa kembali terdengar. Ini ketiga kalinya benda itu
berkumandang. Pandanganku begitu buram, telingaku sedikit berdengung.
Berulang kali kukerjapkan kelopak mata, berusaha untuk mengumpulkan
kesadaran.
Aku terbangun, bersamaan dengan ribuan, atau mungkin jutaan manusia lainnya yang berdiri di sekelilingku.
...
Bingung
Cemas
Takut
Malu
Mereka semua mengukir raut wajah yang sama denganku.
Karena bagaimanapun juga, kami semua dikumpulkan begitu saja di sebuah
tempat datar. Udaranya terasa begitu panas. Masing-masing berdiri rapi
tanpa sehelaipun busana.
Sebuah suara dari singgasana raksasa berucap keras mengagetkan kami semua.
“Ini adalah hari penghakiman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar