Sabtu, 01 Oktober 2016

Descendant

Handphone milik Theo berdering. Nadanya menandakan bahwa panggilan itu berasal dari nomor tidak dikenal.

“Halo?” Theo mengangkat panggilan itu sambil berjalan ke arah kamar mandi.

“Theo! Apakah ini kau?” sahut sebuah suara perempuan yang mungkin seumuran dengan Theo dari seberang sana. Theo berpikir sebentar, sebelum akhirnya mengenali suara milik Lilitha, teman semasa SMA nya dulu.

“Oh! Hai, Lil. Apakah kau Lilitha? Wah, sudah lama sekali rasanya tidak berbincang ya. Bagaimana keadaanmu?” Theo tidak bisa menghentikan pertanyaan untuk gadis yang pernah ditaksirnya dulu. Lilitha memang cantik secara fisik dan mempunyai tubuh yang ideal. Bahkan menurut mata lelaki, tubuhnya tergolong seksi.

“Tentu saja, aku baik. Bagaimana keadaanmu sekarang?” jawab Lilitha dengan nada lembut.

Theo berbalik arah. Tidak jadi ke kamar mandi, karena baginya ini pembicaraan spesial. Telepon dari orang yang pernah disukai—atau mungkin memang masih—memang menjadi alasan khusus seseorang meninggalkan apapun yang sedang ia kerjakan sekarang.

“Aku … yeah, seperti inilah. Mencoba berjuang untuk hidup sendiri, dan mencari semuanya dari nol.” Terdengar nada bangga dari perkataan Theo barusan.

“Wow! Apakah kau sekarang bekerja? Di mana?”

“Mengelola semuanya dari rumah. Sebatas programmer dan web designer, namun mereka membayar lebih atas semua kejutan yang kuberikan.” Sepertinya Theo memang tipe yang suka menyombongkan diri. “Bagaimana denganmu? Apa kau kuliah sekarang? Atau kerja?” Theo melanjutkan pertanyaan yang terkesan beruntun.

“Aku membantu bisnis orang tua sekarang. Hei, omong-omong, apa kau punya rencana hari Jumat minggu ini?” jawaban Lilitha terdengar lebih semangat.

Theo berpikir sebentar. Sebenarnya ada project yang sudah hampir deadline, tapi pertanyaan Lilitha terdengar seperti ajakan untuk pergi ke luar yang membuat Theo memutuskan untuk mengesampingkan pekerjaannya.

“Tidak ada. Jumat ini aku kosong, kenapa memangnya?”

“Ini … bagaimana aku harus memulai …,” Lilitha terdengar gugup saat berbicara. “Aku memenangkan tiket ke taman bermain bernama ‘Wander Land’ yang ada di tengah kota sana, ada tiga tiket, namun aku bingung harus pergi ke sana dengan siapa. Aku sudah mencoba untuk menghubungi teman-teman lain, namun baru Fiura yang merespon dan mengatakan akan ikut. Jadi, daripada tiket ini terbuang kalau hanya aku dan Fiura yang pergi, apakah kau mungkin bisa … ikut?”

Theo tersenyum simpul saat mendengar ajakan Lilitha. Tepat dugaanku, pikir Theo. Ia terlalu senang sampai-sampai butuh beberapa detik terdiam untuk mengkhayal. Ditambah, Fiura juga salah satu gadis cantik yang ada di kelasnya waktu SMA dulu. ‘Ke taman bermain bersama dua gadis cantik? Kenapa tidak?’ batin Theo yang masih menghayal.

“Apakah kau masih disana, Theo?” tanya Lilitha yang kebingungan karena tiba-tiba hening.

“I-iya … aku pasti ikut! Jumat nanti ya? Oke oke! Di mana kita akan bertemu?” Theo merasa jantungnya berdegup kencang karena senang. Dengan seksama, ia mendengarkan penjelasan Lilitha yang akan menghampiri rumah Fiura terlebih dahulu dan rencana mereka berkumpul di depan taman bermain itu tepat jam sepuluh pagi.
Usai pembicaraan panjang, Theo menutup telepon dan berjingkrak senang. “Yes!” teriaknya, “Akhirnya!”

Terlihat senang memang, terlebih sewaktu SMA, Theo adalah pria yang sampai lulus selalu memendam perasaannya kepada gadis-gadis yang ia sukai. Mungkin baginya, cinta itu bukan sesuatu yang harus selalu diincar. Lusa adalah hari istimewa baginya, kesempatan langka yang harus ia manfaatkan.

***

Theo melirik jam berkali-kali. Terasa gelisah saat kedua gadis cantik yang ditunggunya tak kunjung menampakkan batang hidung mereka.

“Sudah jam sepuluh lebih, namun belum juga datang. Dasar wanita!” Theo melirik mesin minuman otomatis yang berada tepat di samping pintu masuk. ‘Mungkin satu kaleng soda bisa menemani,’ pikirnya saat melangkahkan kaki dan merogoh dompet. Theo memandangi satu-persatu deretan merek minuman kaleng di hadapannya. Belum sempat Theo memasukan koin ke dalam mesin minuman, terasa tangan-tangan putih nan mulus merangkul dan memeluk lehernya.
“Boo!” seru suara seorang wanita.

Theo bergerak mundur sehingga bahunya menabrak mesin minuman. Theo melihat dengan seksama sosok yang memakai atasan berwarna merah dan rok berwarna hitam dengan garis merah. Rambut berwarna coklat yang dibentuk bergelombang, dipadu oleh wajah menawan khas asia. “Lil … Lilitha?” Theo tergagap melihat keanggunan wanita yang dari dulu tidak pernah berkurang kecantikannya. Di samping Lilitha juga berdiri Fiura, memakai gaun pink cerah dan membawa tas bergambar kelinci putih.

“Wah, kalian membuat jantungku hampir copot!” Theo merasa dirinya salah tingkah. Kembali, ia memperhatikan lekat-lekat kedua wanita tadi yang sekarang terlihat berbisik dan cekikikan. ‘Mimpi apa aku semalam, hingga bisa ditemani dua wanita cantik di Wander Land,’ pikir Theo yang diam membatu memandangi dua wanita cantik di depannya. “Udah yuk masuk, keburu ramai loh!” Lilitha memecah keheningan dan membuat Theo terkejut.

“O … Oke.”

***

“Selamat Datang di Wander Land. Perhatikan Sepatumu agar Tidak Rusak karena Terlalu Banyak Berkeliling.” Itulah tulisan panjang yang menyambut mereka bertiga. Theo mengeryitkan dahi karena merasa tulisan ini terbaca sangat aneh.

Taman bermain yang sangat terkenal di kota ini, memiliki beragam wahana ekstrem dan menarik. Selalu ramai oleh pengunjung setiap harinya, bahkan pengunjung dari luar kota. Fasilitas-fasilitas yang membuat nyaman pengunjung juga merupakan salah satu ke istimewaan dari Wander Land.

“Ramai sekali ya, sudah 2 tahun tidak datang kesini … rasanya sangat berbeda.” Fiura menunjukkan wajah kagum yang berseri.

“Jadi dulu kamu pernah kesini ?” Theo bertanya, sekadar basa-basi. Fiura hanya mengangguk pertanda menjawab ‘iya’ di saat dirinya terlalu sibuk melihat ke sekitar.

“Tas kamu lucu ya, Fiura?” Tanya Lilitha sambil menarik pelan tas bergambar kelinci putih itu.

“Eh? Ah … iya ... ini tas pemberian mendiang ayah ku,” jawab Fiura dengan pelan sambil memandang nanar ke arah langit.

“Ooops, maaf. Tidak seharusnya aku menanyakan hal ini,” terdengar nada penyesalan di ucapan Lilitha.

“Jangan terlalu dipikirkan, ini bukan masalah besar, Lil ….”
Theo melihat suasana kaku di antara mereka. “Hei. Menurut kalian, mana yang pertama? Roller Coaster, mungkin?” tanya Theo dengan nada menggoda.

“Boleh, siapa takut?” Fiura kini terlihat lebih bersemangat.

“Tunggu dulu, baru masuk sudah mau mencicipi Wahana ekstrim?” Lilitha terdengar agak ragu.

“Ya sudah, ke mana sebaiknya?” tanya Theo putus asa.

“Hei! Bagaimana kalo kita naik itu!” Fiura menunjuk ke sebuah wahana. Bianglala dengan warna keemasan yang sangat besar dan tinggi dengan hiasan dedaunan di pinggiran pintu yang membuat kesan elegan.

“Haha, kau yakin mau naik itu, Fiura?” nada bicara Theo terdengar meledek. “Ya sudah, yuk!”

Pada akhirnya, mereka berjalan menuju bianglala yang menarik minat Fiura.

***

Pemandangan dari atas bianglala emas ini membuat Theo dan Fiura terpana. Mereka dapat melihat keseluruhan wahana yang ada di dalam Wander Land.

“Hei, kalian bisa melihat itu?” Lilitha memecah keheningan saat menunjuk ke suatu bagian yang terdapat di sisi utara Wander Land.
Theo dan Fiura memicingkan mata untuk melihat lebih jelas wahana yang dimaksud oleh Lilitha.

“Kelihatan kan? Itu adalah Rumah Hantu. Bagaimana kalo sehabis ini kita ke sana?” tanya Lilitha dengan nada menantang.

“Hah? Rumah Hantu?” Fiura terlihat sedikit pucat. “Aku tidak mau ah, aku ta—”

“Hantunya bohongan, kok,” potong Lilitha dengan senyuman kecil dan menyakinkan Fiura agar tidak takut.

“Iya, tapi ….”

“Kau tidak perlu takut, ada pejantan di sini!” lagi-lagi nada bicara Theo terdengar sombong.

“Lagipula ...,” lanjut Lilitha. “Aku memang berniat untuk mengajak kalian berdua masuk ke Wahana Rumah Hantu itu tadi.”

***

“Ka-kalian … yakin?” Fiura menelan ludah, memandangi suasana suram di luar pintu masuk wahana Rumah Hantu. Kali ini, wanita yang memakai sepatu hak 5 senti itu merapat ke sisi Theo dan membuat Theo salah tingkah.

“Apa yang kau takutkan? Sudah pasti ini hanya bohongan.” Theo berusaha menenangkan Fiura dengan logika, sementara Lilitha sudah beberapa meter melangkah di depan mereka.

“Ayo kalian, sampai kapan mau berdiri dan menunggu wahana ini ramai? Akan lebih baik jika sepi, bukan?” Lilitha nampak tak sabar untuk segera masuk ke sana. Fiura berkali-kali memandangi poster besar bergambar badan seorang lelaki dengan kepala penuh darah yang dipegang di tangannya. Sementara Theo sudah bergerak maju, hingga mau tak mau Fiura juga mengikuti langkah mereka.

Tirai hitam menyambut di hadapan mereka, dengan beberapa papan peringatan yang berisi larangan untuk masuk bagi orang yang menderita penyakit jantung, asma, ataupun penyakit kronis yang bisa kambuh sewaktu-waktu. Lilitha menyibak tirai dan melangkah masuk ke dalam, diikuti oleh Fiura dan Theo.

Bau anyir menyerbak di udara seakan memaksa hidung mereka menghirupnya. Ruangan di balik tirai hitam hanya diterangi oleh lampu-lampu tempel redup bercahayakan jingga. Selain itu, tidak ada apapun. Hanya lorong kosong dengan dinding batu. Bagai di dalam gua, pikir Theo.

Lilitha bertanya seakan tidak terusik dengan bau anyir itu. “Sepertinya di depan ada jalan bercabang, bagaimana kalau kita ambil jalan yang kiri?”

Theo dan Fiura menutup hidung untuk menahan bau anyir itu. “Terserah kau saja,” ucap Theo sambil tetap menutup hidung.

Mereka bertiga memilih jalan kiri dan tiba pada suatu ruangan. Ruangan tersebut juga memanfaatkan cahaya dari lampu tempel. Hanya saja, di ruangan itu ada sebuah meja dan tubuh manusia yang terkoyak hingga mengeluarkan organ dalamnya. Di sisi lain ruangan itu, terdapat dua tubuh berjubah hitam yang berdiri mematung dan hampir membuat Fiura berteriak karena ngeri.

“Tenang saja,” sahut Lilitha sambil berjalan ke arah dua tubuh berjubah tadi. “Lihat, hanya boneka …,” Lilitha dengan santai menyentuh tubuh-tubuh itu.
“Zrekk!”

Di belakang Theo dan Fiura, tiba-tiba saja ada empat orang yang berjubah hitam—dengan jubah yang persis sama dengan ‘boneka’ yang disebut Lilitha—membekuk Theo dan Fiura dengan cepat dan menutup mulut mereka dengan sebuah kain.

“Yang asli, di sana …,” Lilitha tersenyum aneh, sambil menunjuk ke arah mereka. Wanita itu kemudian berbalik dan menempelkan tangannya ke dinding di dekat ‘boneka’ berjubah tadi.

“Dorchadas, An Anam, llame rio Estigia. Thaispeaint dom an tiarna dorchadais!” Lilitha yang meracau dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Fiura dan Theo, membuat dinding yang disentuhnya berpendar dengan warna hitam. Bagai terbakar oleh sebuah api hitam, dinding itu menjadi sebuah jalan baru. Tanah gersang dengan langit hitam, kini tersaji di hadapan Lilitha.

Theo berusaha melawan, namun cengkraman mereka sangat erat. Sementara Fiura hanya bisa diam dengan tatapan lesu. Seketika Lilitha berbalik dan tersenyum picik ke arah mereka.

“Kau tahu, Fiura?” Lilitha berkata lirih. “Laki-laki yang menjadi tumbal pada Jumat tanggal 13 setahun yang lalu, memiliki nama belakang Anderson. Nama yang sama dengan nama belakangmu, huh?”
Fiura melotot, menghentakkan badannya dan berusaha berteriak. Kali ini ia terlihat marah, kemudian air mata mulai menetes.

“Ayah dan anak yang malang. Bisa terjebak ke lubang yang sama dengan bodohnya. Uh-oh, aku lupa. Kau tidak ikut waktu itu. Yang diajak ayahmu adalah seorang wanita seksi yang umurnya kira-kira lebih muda dari ibumu …,” Lilitha berkata dengan nada menyindir.

“Enam ratus lima puluh tujuh, dan enam ratus lima puluh delapan. Sisa delapan orang lagi, penguasa kami bisa bangkit. Gerbang ini akan sepenuhnya terbuka tanpa harus menunggu hari Jumat tanggal 13 … dan kami, bisa menguasai dunia! Hahahaha! Perjuangan buyutku selama berabad-abad akan membuahkan hasil. Tidak sia-sia kami memutar otak untuk mempertahankan satu-satunya gerbang menuju dunia iblis ini. Hahahaha!”

Lilitha berjalan menuju Theo, menyentuh pipi dan menjilat daun telinga milik laki-laki itu. “Kau tahu, Theo sayang? Aku bisa mendengar semua yang kau pikirkan, bahkan ketika kau berpikir mesum tentangku saat SMA dulu. Tempat ini seperti gua, hah? Tebakanmu benar! Ini adalah gua, sekaligus pemandian air panas! Penginapan! Yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang memuat emosi puncak dari manusia ...! Taman bermain! Ups, maksudku, Rumah Hantu. Hahahahahaha!”

“Bawa mereka ke altar.” Perintah Lilitha secara tegas dan dengan cepat dipatuhi oleh orang-orang berjubah tadi. Mereka berjalan, menuju lubang api hitam yang terbuka.

***

Rabu, tanggal 11, satu tahun setelahnya.

Freido sedang memainkan game di komputer saat handphonenya berdering. Terpaksa namun penasaran, ia harus menghentikan sejenak game yang dimainkannya.

“Ya, halo?” sahut Freido dengan nada malas dan sedikit kesal karena terganggu.

“Freido? Apakah ini kau?” sahut sebuah suara wanita di ujung sana. Freido mencoba menebak asal suara itu, namun gagal. Karena terasa hening sekian detik, lawan bicara Freido kembali bersuara.
“Ini aku, Lilitha. Teman SMP-mu!”

Freido mencoba mengingat dan menemukan sosok Lilitha diingatannya. Panjang lebar mereka bercerita tentang kehidupan masing-masing, hingga Lilitha bertanya, "Jadi, apakah kau ada acara, Jumat besok?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar