"Apa
yang terjadi?" itu yang aku pikirkan ketika mendapati diriku baru sadar
dan berada diatas sebuah meja operasi dalam keadaan tangan dan kaki
terikat. Aku mencoba mengamati ruangan yang kurang pencahayaan ini
hingga akhirnya aku sadar bahwa ini adalah ruang otopsi ditempat aku
bekerja. Pertanyaan yang sama kembali mengisi kepala ku, "apa yang terjadi?".
Tiba-tiba pintu terbuka, kulihat siluet seseorang yang mengenakan pakaian dokter.
Layaknya adegan film aku mencoba melepaskan ikatan ini disaat orang itu
berjalan mendekat kearahku, senyumnya yang tajam mulai memudarkan rasa
keberanianku, menggantikannya dengan rasa panik dan penuh tanda tanya.
"Amat??!" kataku ketika mengetahui orang itu adalah pasienku yang memiliki gangguan jiwa yang sangat fatal.
Aku begitu terkejut mengetahui sosok yg tengah berdua denganku adalah
dia. Beribu pertanyaan memenuhi benakku. Kenapa bisa aku berada disini?
Kenapa dengan Amat yg bisa muncul disini? Dan yg terpenting... Kenapa
aku bisa dalam keadaan seperti ini?
"Amat, apa yg kau lakukan?! Lepaskan saya!"
Bukannya menjawab pertanyaan-pertanyaan yg ku lontarkan kepadanya, ia
malah tertawa. Suara tawa nya membuat bulu roma ku berdiri.
"Ayo kita bermain! Ayo kita bermain!~"
Deg.
Satu hal yg perlu kalian tahu, Amat 'tinggal' disini karna kasus yg
cukup parah. Ia senang melukai sesuatu, atau bisa dibilang psikopat..
"Apa yg kau maksud dengan bermain, Amat?! Lepaskan saya!,"
"Hehe, dokter baik. Mari bermain sebuah permainan,"
Ucapnya selancar sebuah mobil yg melaju di jalan sepi. Dengan lidah yg sedikit menjilat bibir.
Bahkan dengan lampu meja operasi yang menyilaukan di atas tubuhku, aku
masih dapat melihat betapa gilanya seringai pasien yang satu ini. Tidak,
kali ini aku-lah pasiennya. Yang terikat dan terkunci, tanpa bisa
melawan. Tangan dan kakiku dikunci oleh sesuatu, aku tidak bisa melihat
dengan jelas karena suasana ruangan yang suram dan posisi meja operasi
yang terlalu datar.
"Kumohon..." lirih yang keluar dari
mulutku, tak dapat mengalahkan detak jantung yang memenuhi kepala ini.
Semakin lama aku semakin kehilangan daya untuk memberontak. Inilah
rasanya ketika rasa takut lebih mengambil alih dibanding insting
bertahan hidup. Seluruh tubuhku lemas.
"Nama permainannya, 'siapa yang sakit?"" Amat berbicara seperti menjawab pertanyaanku yang tadi.
Amat memakai perlengkapan layaknya benar-benar ingin melakukan operasi.
Mulai dari sarung tangan, masker penutup hidung dang mulut, hingga
penutup kepala. Sambil perlahan tiap geraknya memasang perlengkapan,
matanya melirik dengan nyala kemenangan. Sementara dia menarik meja
perlengkapan yang memiliki roda. Saat itu pula aku tersadar bahwa
tubuhku hanya ditutupi selembar kain.
"LEPASSS!!! LEPASKAN
AKU, BERENGSEK! KEPARAT!" Aku berteriak, memberontak, namun aku juga
sadar bahwa ruangan ini ternyata ruangan operasi di gedung lama. Bagian
belakang rumah sakit yang sudah tidak terpakai dikarenakan pembaharuan.
Meski begitu aliran listrik tidak diputus di sini.
Menanggapi teriakanku, Amat malah menurunkan penutup hidungnya dan menaruh jari telunjuknya di depan bibir.
"Sssttt... Dokter manis, jangan nakal. Nanti dimarahi mama. Ini, supaya
enggak takut." Amat mengambil sesuatu di rak meja perlengkapan. Sebuah
boneka kelinci yang usang dan sedikit basah. Aku tidak tahu dari mana
dia mendapatkannya.
Amat meletakkan boneka kelinci tersebut tepat di samping kepalaku, kemudian kembali mengambil sesuatu dari meja perlengkapan.
Tubuhku terasa sangat lemas dan napasku terengah-engah. Benar-benar
rasa capek pada tingkat maksimal. Aku memutar mataku untuk melihat apa
yang sedang dilakukan Amat. Dia, dia mengambil jarum suntik berisi
sesuatu. Warna cairannya antara cokelat dan kuning, entah itu apa.
"Sakitnya sebentar kok, cuma kayak digigit semut," seringainya.
"BERENGSEK KAU! PERGI! LEPASKAN AKU!" teriakku sambil berusaha memberontak.
'Jleb'
Rasa sakit menjalar di bagian lengan kiriku. Si Amat gila itu menusuk
jarum suntiknya begitu saja. Rasanya sangat nyeri, sakit, dan membuatku
ingin mati saja.
"Arrrrghhhhhh!" teriakku saat dia mulai mendorong seluruh isi di dalam suntikan masuk ke lengan kiriku.
"Nah, sekarang, kita bisa mulai operasinya. Hehehe."
Dia mencabut dengan kasar jarum suntik tadi dan melemparkannya begitu saja. Tapi bukan itu yang saat ini membuatku bergidik.
Amat memegang pisau bedah dengah tangan kanannya, dan satu-satunya hal yang paling membuatku panik.
Pisau itu tidak memantulkan cahaya apapun, bahkan di bawah lampu operasi. Dan setelah aku sadar, jarum suntik tadi juga tidak.
Semua peralatan yang dia gunakan sudah berkarat!
***
- Amat's PoV -
HAHAHAHA.... Sudah berapa lama aku terkurung di sini? Dua tahun? Lima
tahun? Aku tidak tau! Namun yang jelas kini aku bebas... Aku lepas dari
kurungan dokter keparat itu! Tapi tunggu.... Ini belum berakhir,
semuanya baru akan dimulai.. Dokter keparat itu akan merasakan apa yang
aku rasakan selama bertahun-tahun. Hanya saja aku akan membuatnya
semakin menyakitkan untuknya.
Permainan belum dimulai, tapi aku
sudah merasakan adrenalin di sekujur tubuhku. Ditambah lagi aku
mendengar teriakan dokter keparat itu, meminta untuk aku melepaskannya.
HAHAHAHHA. DULU SEWAKTU AKU BERTERIAK, MANA PERNAH IA MERASA KASIHAN.
Dokter keparat itu masih berusaha untuk melepaskan ikatannya sendiri
dari meja operasi, jadi aku tidak punya pilihan lain. Aku suntikkan
cairan yang biasa ia suntikkan padaku.
Eh tunggu.... Aku tidak
tau cairan apa yang aku suntikkan.. he--hehehe---eheheheh... Warnanya
sama... berarti cairannya sama kan?
"Tenang saja, jangan
terburu-buru dok.... Permainannya nanti tidak akan lama kok... Apa
artinya sepuluh menit? Gunakan otakmu dok.. Paling-paling kau hanya akan
hidup 30 tahun lagi. Tiga puluh, jadi tiga ratus enam puluh bulan,
hari, jam dan menit. Akan kau pergunakan untuk apa waktu ini? Aku
menjadi pahit memikirkan dunia yang cuma berputar sehari semalam. Waktu
dibuang buang, diputar kemana kita ini? Menonton kincir angin saja sudah
membuatku mual."
Aku tertawa layaknya orang gila,
berputar-putar mengelilingi meja operasi. Menunggu efek cairan itu
bekerja pada dokter keparat tersebut.
"Lihat keatas dok!
Alangkah terangnya langit diatas kota, api menyala dilangit, ada suara
seperti terompet. Semuanya terlihat tenang.. seperti dunia telah mati.
Kenapa kau diam saja, dok? Takut? Tutup saja matamu... Jadi kau tidak
akan melihat apa yang akan ku lakukan selanjutnya. Kau tidak akan takut
jika kau tidak melihat apapun kan? Itu yang kau selalu katakan padaku,
dok... Mengapa tidak kau terapkan??"
Pisau bedah kini berada di tanganku.
Dosa sangat besar begitu menebar. busuk itu tidak akan lenyap sebelum
malaikat membakar kemenyan dari surga. Itu ganjaranmu.. kita masing
masing merupakan karang yang curam. kau pusing jika melihat ke bawah.
itu sudah wajar.. membuatnya seolah olah tak bersalah. Ya, bersih.. kau
mempunyai tanda kejenisan itu. apakah aku tau seakan akanan ini, apa aku
tau? Siapa aku?
Aku perlahan mendekati dokter keparat itu.
"Ayo kita mulai----"
Ujarku dengan nada bicara yang sedikit aku permainkan.
"Huh? Apa yang kau katakan, dok? KERAS!!! KATAKAN LEBIH KERAS! TIKAM?? HAHAHAHAHAHAHHAHA"
Tawaku memekik tercampur jeritannya ketika mata pisau ku tancapkan ketangannya.
***
Detik detik itu bergerak seakan mengelabuiku.
Sedetik yang lalu pisau berkarat dengan bau besinya itu masih berada di
tangannya yang penuh luka. Sedetik kemudian mata pisau itu mendekat
dengan begitu cepat ke pergelangan tanganku, dan sedetik kemudian, ia
mengorek ngorek dagingku dengan pisau itu, mencongkel congkel saraf dan
mengeluarkan dagingku. Tempo itu, aku tak tahu apa-apa lagi, aroma darah
menguar dengan kuat, cairan merah meluncur ke mana mana seperti air
mancur dan membasahi rambutku yang tergerai, dan yang terakhir yang aku
ingat adalah rasa sakit yang begitu menyiksa sampai ke tulang tulangku.
Aku memekik, meraung, menendang, menggeram dan menghentak hentakkan
badanku dalam kesia siaan untuk meredam rasa sakit itu. Namun samar
samar di antara pekikan dan eranganku itu, terselip gelak tawa penuh
kemenangannya yang tersendat sendat. Tubuhku tak mau berhenti mengejang,
aku kehilangan banyak darah sampai rasanya kepalaku berdenyut denyut
buas--tanda bahwa darah di tubuhku sudah hilang satu per tiganya.
"Bagaimana rasanya, dokter cantik? Kan, sudah kubilang rasanya hanya
seperti digigit semut. Hahahha..." Ujarnya--membelakangi lampu operasi
dengan kepalanya, Amat memperlihatkan deretan giginya yang berantakan.
"Ar... Ar... T-Tolong, le...paskan... aku, aku minta maaf..." Aku belum
merasa pernah begitu takut pada seseorang sepanjang hidupku namun pada
saat bersamaan aku juga begitu membencinya.
Tiba tiba wajah
cerianya yang tercemari oleh darahku itu mendadak murung mendengar
perkataanku. Ia membisu beberapa saat, mematung menatap lurus ke dalam
mataku yang kusipit sipitkan karena perih yang tiada tara itu. Aku tak
menangkap secercah pun rasa bersalah atau iba dalam mata coklat emasnya.
"Semudah itu kau minta maaf?" Geramnya, lalu mendorong pisau itu
semakin dalam menembus dagingku. "Setelah kau mengurungku dan
menghabiskan waktuku untuk diam 30 tahun ditempat ini!" Wajahnya berubah
garang, dan seluruh otot wajahnya tertarik sedemikian mengerikan
seperti menahan kemarahan yang terlalu lama. Keriputnya bertambah banyak
dan banyak. Dengan berang ia mengambil paku yang ia taruh dalam baju
dokterku yang kini ia pakai.
"Nah, dokter, karena aku baik, aku
tidak akan mengurungmu selama 30 tahun seperti yang kau lakukan
kepadaku. Tapi aku akan memberikan penyiksaan 30 menit yang akan kubuat
setara dengan 30 tahunku. Mengerti?" Lalu ia akhiri perkataan itu dengan
senyumnya.
"B-BRENGSEKKKKK! ARGHHH!"
Dengan satu
hentakan ia membalikkan badanku yang tak tertutupi kain. Jantungku
bergemuruh dengan cepat saat aku mendengar suara alat alat yang ia
sengaja pukul pukul. Pisau bedah? Jarum? Tang? Gunting? Apa--apa yang
akan kau gunakan, Amat? Namun aku tak mengenali suara suara itu,
sehingga aku membalikkan kepalaku untuk melihat siluetnya yang tinggi.
PALU! ITU PALU! Tiba tiba saja aku mengerti kenapa dia membawa paku
paku besar yang usang, berkarat dan bengkok. Ia akan memakunya padaku!
Namun tiba tiba ada suara pelan gumaman laki laki yang muncul dari
kamar di depanku. Tepatnya seperti erangan kesakitan yang pilu. Lelaki
gila itu berdecak kesal dan meletakkan benda penyiksaannya dan bergerak
membuka pintu putih yang di seberangku. Langkahnya terdengar pelan dan
sengaja didramatiskan oleh Amat.
Ia lalu berbalik padaku,
memperlihatkan seluruh badannya yang mengkilap oleh darahku, sedangkan
aku sendiri mulai memasuki tahap mendekati pingsan."Oh ya, dokter, aku
ada kejutan untukmu." Ia membuka pintunya. Dan aku kini mengerti mengapa
ia adalah psikopat kelas kakap.
Saat ia membukanya, ada suara barang berat yang terjatuh.
Di depan pintu terlihat seorang laki laki yang kepalanya hancur
tertimpa balok beton berat. Ada lelaki berkumis dibelakangnya yang
tersandar ke dinding lorong, dengan kaki buntung sampai ke lutut. Dan
bahkan diujung lorong itu terdapat mayat lelaki yang sudah tidak jelas
bentuknya. Ketiganya mengenakan seragam biru hitam, seragam polisi di
daerah kami. Tampaknya tempat ini sudah dipasangi jebakan oleh si
keparat itu. Namun laki laki itu... walau kepalanya pecah dan remuk,
serta darah menggenangi seluruh lorong itu, entah kenapa sepertinya aku
mengenalnya.
Aku berusaha membuka mataku dengan lebar, berusaha
mengenalnya dari posturnya dan tiba tiba seluruh tubuhku terasa dialiri
listrik tegangan tinggi, dan perutku terasa mual menyadari siapa
sebenarnya pria yang tertimpa balok beton itu.
Dia...
DIA SUAMIKU!
Aku memekik, "HARRRISSSSS!"
"Dia lelaki yang baik sekaligus polisi yang baik." Ia terkekeh lalu melanjutkan lagi.
"Namun aku tetap takkan membiarkan dia atau polisi lainnya mengganggu sesi kita."
"Oh tidak!!! ia telah membunuh Haris dan polisi lainnya! ia benar - benar tak waras!" ucapku dalam hati
Aku melihat si pasien sinting itu lengah karena ia berusaha menyeret
mayat Haris dan kedua polisi lainnya. Tampaknya ia akan pergi keluar
dari ruangan ini untuk membuang mayat mereka.
"Aku harus memanfaatkan ini!" ucapku saat Amat mulai pergi meninggalkan ruangan
Aku mengambil sebuah gunting untuk memotong tali yang mengikat kaki dan
tanganku. Aku harus memanfaatkan waktu yang ada, kalau tidak pria
sinting itu akan terus "Mengservisku".
Oh tidak!!! suara pintu
mulai terdengar, sementara aku baru melepaskan ikatan di kedua tanganku
dan kaki kananku. Terdengar suara tawa yang memenuhi ruangan kumuh dan
bau ini. Aku mulai ketakutan, akhirnya sebelum ia masuk ke ruagan ini,
aku berhasil bersembunyi di kolong ranjang ruangan ini.
"Dimana??? Dimana Dokter cerewet itu???" Teriak Amat dengan marah
Aku mencoba untuk tenang dan tidak menimbulkan suara sekecil apapun, walaupun badanku masih lemas karena disuntik tadi.
"Hahaha!!! kau mau bermain petak umpet denganku nampaknya!!" ucap Amat terkekeh
Ia terus mencariku mulai dari dalam lemari, tirai jendela, maupun di
kamar mandi. Ia makin tampak kesal karena tak bisa menemukanku.
"Dimana kau Dokter manis??? ada sesuatu yang akan kutunjukan!" ucap Amat sambil tertawa
Ketakutanku makin menjadi setelah aku melihat kakinya berada tepat menghadapku.
"Aku tahu kau dimana!!!" ucapnya seraya membungkuk memeriksa kolong ranjang
Namun sebelum ia menemukanku, dengan sigap aku menusukkan gunting yang
kupegang tepat di kakinya. Ia meringis kesakitan seraya darah yang
mengucur deras.
"Sekarang aku yang akan menghajarmu pria sinting!" ucapku dengan penuh amarah
"Oh ya? Baru kakiku yang kau lukai kau bangga?"
"Ini belum seberapa!" ucapku dengan marah
Aku melihat ada pisau yang tergeletak di atas meja operasi, tampaknya
ia melihat hal yang sama. Aku berusaha mendahului Amat untuk mengamankan
pisau itu.
Namun, ternyata Amat mengambil pisau itu lebih cepat seperkian detik dariku.
"Sreeet..."
Tanganku digores secara kasar olehnya, aku berteriak kesakitan dan darah pun mengucur.
Aku pikir jika aku terus berada di ruangan ini aku akan dihabisi
olehnya, karena ia memegang senjata. Dengan sigap aku pun berlari menuju
pintu dan bergegas lari dari ruangan itu.
Aku terus berlari hingga tak sadar aku menabrak seorang suster.
"Dokter? apa yang kau lakukan tengah malam begini? Apa yang terjadi denganmu?
"Bisa kujelaskan nanti... Tolong bawa aku keluar dari rumah sakit ini!"
"Tapi dok kau terluka cukup parah..."
"Nanti bisa ku...jelaskan!"
Aku berterika ketika tiba-tiba melihat Amat berada dibelakang suster itu dan mengangkat pisaunya...
Amat kembali memperlihatkan seringainya, tanpa basa-basi ia menghunuskan pisau di tangannya ke leher suster itu.
"Jangan!" aku histeris melihat kejadian itu. Namun segera ku fokuskan
otakku, aku harus segera pergi, tak ada waktu untuk menolong suster itu.
Aku kembali berlari dengan tertatih, luka yang dibuat Amat sungguh
membuatku kekurangan tenaga. Akan tetapi keinginanku untuk tetap hidup
lebih besar dari rasa sakit ini.
Amat masih berada di
belakangku, nafasku kini mulai tersengal-sengal, aku melirik ke arahnya,
dia masih terus menyeringai dan menggoreskan pisau di tangannya
sepanjang koridor, suara gesekan itu bagai melodi malaikat maut di
telingaku.
Amat mulai memperlambat langkahnya "Hei dokter, apa
kau tidak lelah? Ah tentu saja kau lelah, kau sudah kehilangan banyak
darah bukan?" Amat kembali terkekeh.
Aku masih terus
mempercepat gerakku namun tak dapat ku pungkiri sekeras apapun usahaku,
langkahku tidak pernah lebih cepat dari sebelumnya. "Argh! Aku ini
orang baik, aku tidak mungkin mati dengan konyol seperti ini! "
"Kau bicara apa dok? Sepertinya kau mulai kehilangan akal sehatmu." Amat menimpali perkataanku.
Tidak ada gunanya kabur, aku hanya akan menghabiskan tenagaku yang
tersisa, hanya ada satu cara untuk mengakhiri semua hal konyol ini. Ya
hanya ada satu cara.
Aku menghentikan langkahku. "Jadi kau sudah menyerah? Baiklah aku datang" Amat mulai berjalan mendekatiku.
"Sebuah pertarungan, hanya itu kesempatanku" gumamku dengan penuh keyakinan.
Amat kini hanya berjarak beberapa langkah dari hadapanku. Tubuhku
tersungkur ke atas lantai, mata Amat semakin bersemangat melihatku
melemah, ia mendekatkan wajahnya, "Apa kau sudah akan mati dok?
Harusnya aku tidak membuatmu kehilangan banyak darah sehingga permainan
ini akan lebih panjang."
Mata Amat mulai menjalari tubuhku dari
ujung rambut hingga kakiku, "Kaki ini, akan ku lakukan apa yang kau
lakukan padaku dok" Amat kembali memanatapku lalu kemudian mengalihkan
pandangannya pada kaki kiriku, dengan sigap aku memanfaatkan kesempatan
itu dengan menghantamkan sikutku dengan kuat tepat di punuk Amat.
Amat tersungkur, pisau di genggamannya terlepas dan terjatuh, aku
berusaha dengan keras mengambilnya, dan mengerahkan semua tenagaku yang
tersisa untuk menancapkan pisau berkarat itu ke jantungnya.
"Argh, dasar wanita jalang!" Amat berteriak dan berusaha menyerang
balik, tenaganya masih jauh lebih besar dariku. Ia mencabut pisau itu,
darahnya mulai mengalir dari balik lubang di dadanya, "Satu tusukan
seperti ini tidak akan mebuatku mati!" ia mulai melotot ke arahku.
Tubuhku tak mampu lagi bekerja sama, aku tak sanggup lagi untuk
bergerak dan kali ini sungguhan. Aku menatap Amat dan tersenyum dengan
kedua mataku yang mulai menyipit.
"Kenapa kau tersenyum?
Baiklah karna aku sedang baik maka aku akan mendengarkan ucapan
terakhirmu dok" Amat mulai berjongkok dan mendekatkan wajahnya kepadaku.
Kali ini ia lebih siaga dan menempatkan pisau itu di pipiku.
"Katakan dok!" ia kembali memperlihatkan barisan giginya yang menyeramkan.
"Clostridium tetani" ucapku lirih.
Amat menunjukan wajah bingungnya namun ia kembali tersenyum, ia tak
mengabaikan keinginannya untuk menjadi malaikat mautku, dan lagi-lagi
sebuah tusukan menembus tubuhku, kali ini aku bisa merasakannya
menggapai jantungku, "Setidaknya aku tidak mati sia-sia" pikirku dan
ritme jantungku pun mulai berhenti.
End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar