Minggu, 09 Oktober 2016

The Heaven Project

Aku terbangun di lantai keras dan dingin dalam sebuah ruangan gelap. Aku tak tahu berapa lama aku terbaring di sana, tapi dari nyeri di tubuhku, kurasa sudah cukup lama. Pikiranku kosong. Aku memandang sekelilingku, dan dari yang kulihat, sepertinya itu ruangan yang tak berjendela.
Aku perlahan berdiri, hampir jatuh pada mulanya. "Apakah aku diculik?" Pikirku. Ruangan itu kosong. Tidak ada kursi, aku tidak diikat. Perlahan, aku mencoba menyusuri tembok. Ruangan itu kecil, hanya sebesar kamar tidur biasa. Dalam kegelapan, aku menemukan sebuah pintu. Aku meraba-raba hingga menemukan gagang pintu, yang terasa sangat dingin. Aku mencoba membukanya. Tidak berhasil.

Rasa sakit mendadak menyerang kepalaku. Aku ingat cahaya terang, tabrakan mobil, rasa takut, rasa sakit... Aku memegang kepalaku dan menutup mataku, berharap rasa sakit itu segera hilang. Aku mundur dari pintu dan jatuh terduduk. Setelah beberapa detik, aku mulai menyadari kenyataan mengerikan itu. "Apakah aku...mati?"

Seolah menjawab pertanyaanku, pintu itu mendadak terbuka dan cahaya menyilaukan membanjingi ruangan. Aku menaungi mataku yang masih tak terbiasa dengan cahaya. Dua pria melangkah masuk. Yang satu tinggi dengan rambut pirang lebat serta mata biru. Yang satu lagi lebih pendek dengan rambut coklat berantakan dan mata hijau cemerlang. Mereka mengenakan jas dan nampak punya sepasang sayap mencuat dari punggung mereka. Keduanya tersenyum lebar hingga menunjukkan gigi-geligi putih seperti mutiara.

"Selamat datang di Surga, Jason Gray," ujar yang tinggi dengan suara lembut.

"Surga?" Tanyaku. Kedua malaikat itu mengangguk, masih tersenyum. Aku terpana. Bagaimana mungkin aku masuk surga? Aku bukan orang jahat waktu masih hidup, tapi aku juga tidak religius. "Kenapa aku ada di sini?" Tanyaku bingung.

"Karena semua orang masuk surga. Neraka itu cuma kebohongan kecil untuk menjaga perilaku manusia. Pada akhirnya, semua orang masuk ke sini," malaikat tinggi itu menjelaskan dengan tenang. Sepertinya dia sudah sering melakukan ini pada tiap orang yang datang.

"Kami di sini untuk mengantarmu berkeliling surga!" Malaikat pendek berkata, tubuhnya melonjak-lonjak kecil karena bersemangat.

"Berkeliling?"

"Ikuti kami," kata si malaikat tinggi sambil berjalan ke luar ruangan. Ketika mereka berbalik, aku melihat bahwa kedua sayap itu nampaknya dijahit ke daging mereka. Jahitannya berantakan, seolah mereka banyak bergerak ketika sayap itu dipasang. Tempat apa ini?

Cahaya putih menyilaukan membanjiri mataku saat aku keluar. Aku berbalik dan melihat bahwa pintu yang tadi telah hilang. Si malaikat pendek tertawa kecil melihat kebingunganku, dan memberi isyarat untuk jalan terus. Ketika memandang ke depan, aku bisa melihat sesuatu seperti semacam pabrik. Ada banyak malaikat lain mengenakan baju kerja mendorong troli penuh berisi barang yang tak kuketahui. Aku melihat sesosok malaikat perempuan berbaju kerja yang cantik. Rambutnya seperti langit sore musim gugur, dan matanya berkilau seperti cahaya matahari yang melewati gelas kaca. Aku tersenyum kecil dan dia menoleh menatapku untuk membalas senyumku. Astaga. Wajahnya. Setengah wajahnya ternyata terbakar habis. Gigi dan gusinya nampak menonjol, dan aku melihat tulang dengan serpih-serpih daging di sekitarnya.

Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku, berusaha menahan muntah. Kedua malaikat itu nampaknya tak menyadarinya, atau mungkin tak peduli. "Tempat apa ini sebenarnya?" Aku akhirnya berhasil bersuara. "Surga," jawab keduanya. Aku menggeleng. "Tidak. Bukankah surga harusnya serba indah dengan gerbang putih dan malaikat-malaikat elok?" Kedua malaikat itu saling berpandangan seolah aku ini anak kecil yang bertanya pada orangtuanya kenapa langit itu biru. "Nanti akan kami jelaskan semuanya, Jason," ujar si malaikat tinggi. Senyuman mereka yang tak habis-habis mulai membuatku jengah.

Aku terus mengikuti mereka karena hanya itu yang bisa kulakukan. Semakin kulihat, semakin janggal barang-barang yang didorong para malaikat berbaju pekerja itu. Jutaan pertanyaan hadir di benakku, namun aku tak mampu menyuarakannya. Kedua malaikat itu memanduku melalui lorong-lorong yang panjang dan memusingkan. Aku mencoba menemukan petunjuk yang akan memberitahuku dimana aku berada seandainya aku perlu kabur, namun semua lorong itu nampak sama.

Kedua malaikat itu mendadak berhenti di depan sebuah pintu yang nampak biasa-biasa saja. Si malaikat pendek membuka pintu dan menyuruhku masuk. Di dalam, aku melihat sesuatu yang nampaknya seperti sebuah meja operasi dengan nampan berisi peralatan di sampingnya. Mataku lantas melihat sepasang sayap yang digantung di sebuah kaitan di dinding. Benakku bekerja, dan aku tersentak mundur. "Tidak, tidak, tidak." Aku tergagap, mundur sejauh mungkin.

"Kau tak punya pilihan," kata malaikat tinggi. Dia mencengkeram lenganku dan menarikku. Aku berusaha bertahan, namun lantainya licin. Temannya menunggu dengan sabar. Nampaknya mereka sudah sering melakukan ini. Detik berikutnya, si malaikat pendek menahan tubuhku di meja operasi dan mengikatku dengan pengikat kulit. "Tenanglah, Jason, nanti kami jelaskan," ujar si malaikat tinggi dengan suara datar.

"Ke neraka sana!" Teriakku.

"Tidak bisa, Jason. Kami sudah bilang neraka itu tidak ada," ujar malaikat tinggi. Jemarinya yang cekatan memilih-milih peralatan operasi.

"Oh, bolehkah aku melakukannya kali ini?" Si malaikat pendek mendadak bertanya dengan suara melengking riang. Malaikat tinggi mendesah, dan dengan ragu mengulurkan pisau bedahnya.

"Baiklah, tapi tolong jangan bikin berantakan lagi seperti sebelumnya," ujarnya. Mataku melebar ketakutan mendengarnya. Si malaikat pendek cekikikan senang dan mulai menghampiri meja operasi. Dia menyetelnya agar terangkat, lalu membuka semacam celah yang membuatnya mampu menggarap punggungku. Mereka benar-benar sudah merencanakan ini dengan baik.

"Begini, Jason, kau sangat beruntung bisa terpilih untuk tugas penting menjadi malaikat," ujar si malaikat tinggi, saat temannya mulai merobek pakaianku.

"Tapi kenapa aku? Aku tidak religius, aku bahkan tidak percaya Tuhan dan semua omong kosong ini!" Teriakku. Aku merasakan pisau mulai mengiris dagingku. Aku menggigit bibirku dan berusaha tidak berteriak.

"Nah, itulah sebabnya kau terpilih. Karena kau tidak pernah mengabdi pada Tuhan seumur hidupmu, kau bisa melakukannya di sini. Mereka yang religius saat masih hidup tidak perlu melakukan ini, karena mereka bisa langsugn menyatu dengan Tuhan di sini, seperti yang mereka inginkan."

Aku bisa melihat si malaikat tinggi mengambil sayap dari dinding dan membawanya ke belakangku, memposisikannya di punggungku. Akan tetapi, pikiranku terlalu sibuk merenungkan makna kata-kata "menyatu dengan Tuhan di sini." Mendadak, sebuah jarum suntik menusuk sisi leherku.

"Lebih baik kau tidur selama prosedur yang satu ini," ujar si malaikat tinggi.

************************************************************

Aku tersentak bangun, dadaku berat dan basah oleh keringat. Lama-kelamaan, aku menyadari dua benda tergantung di punggungku. Rasanya tulang punggungku nyaris rontok karena beratnya. Kedua sudut mataku melihat ujung-ujung sepasang sayap putih menonjol dari punggungku.

"Oh, kau akhirnya bangun," ujar si malaikat tinggi.

"Kerjaku bagus, 'kan?" Tanya si malaikat pendek dengan riang, yang hanya disambut dengan "ya" bernada bosan oleh temannya.

"Berapa lama aku pingsan?" Suaraku terdengar serak.

"Waktu tidak penting," ujar si malaikat tinggi. Dia perlahan melepas ikatanku. "Sekarang kami akan menunjukkan tugasmu. Ikuti kami."

Aku bangun dari kursi, mengernyit ketika rasa sakit menusuk punggungku. Rasanya ada darah keluar dari jahitanku. Tapi aku tetap mengikuti mereka, karena tak yakin apa lagi yang harus dilakukan. Kami kembali melewati lorong demi lorong yang nampak sama, walau pikiranku agak hampa karena sakitnya. Aku hanya bisa mengikuti dengan patuh. Kami akhirnya tiba di depan sebuah pintu besi berat. Si malaikat tinggi membuka pintu itu dan menyuruhku masuk.

Aku tidak langsung masuk. Aku TIDAK MAU masuk dengan pemandangan itu di depanku. Aku melihat sebuah rumah jagal.

Malaikat-malaikat bersayap dengan celemek berlumuran darah berdiri dalam barisan, mengiris tubuh-tubuh manusia dengan gergaji tulang. Mereka semua tersenyum sampai gigi-gigi mereka terlihat. Beberapa bahkan bersenandung sambil bekerja, dan percikan-percikan merah menodai gigi mereka. Beberapa melihatku dan melambaikan tangan.

Aku mencoba mundur, namun tubuhku menabrak si malaikat pendek. Dia mencengkeram lenganku kuat-kuat. "Ayo, sana," ujarnya sambil mendorongku masuk. Sebelum aku bisa berbalik, pintu besi itu terbanting menutup. Aku ingin menjerit, menangis, tapi tubuhku membeku. Si malaikat tinggi muncul di depanku dan menyodorkan celemek putih bersih. "Ini untukmu," ujarnya.

Aku menyadari apa maknanya, dan aku menggeleng kuat-kuat. "Tidak, kumohon..." Tapi dia memaksaku memegang celemek itu, dan memasang celemeknya sendiri ke tubuhnya. Celemeknya nampak lebih kotor daripada punyaku, dengan sisa-sisa daging masih melekat.

"Ayolah, kita tak bisa berlama-lama. Jadwalnya ketat."

Sebelum aku bisa bertanya, pintu besar di seberang ruangan itu terbuka. Semuanya jadi diam ketika sesosok bungkuk berjalan terseok-seok dengan bantuan tongkat. Dia seorang pria tua dengan wajah berkeriput, kepalanya botak, namun janggutnya kelabu dan nyaris menyentuh lantai. Janggut itu bernoda darah, cocok dengan kedua matanya yang juga merah. Walaupun aku masih jauh darinya, aku bisa mencium bau busuk darinya.

Matanya menatapku, membuatku membeku. Aku merasa terperangkap dalam sorot mata serba-tahu itu, yang sepertinya menikam jiwaku. Aku tak bisa bergerak hingga dia akhirnya berdiri di depanku. "Jason," ujarnya dengan suara serak. Aku mengangguk, satu-satunya hal yang bisa kulakukan. "Selamat datang." Dia tersenyum, menampakkan barisan gigi kekuningan. Dari jarak ini, bau napasnya lebih parah lagi. Satu pikiran menakutkan melewati benakku. Apakah dia...?

"Ya, aku Tuhan," ujarnya apa adanya. "Dan ini, seperti yang sudah kau ketahui, adalah surga." Dia tertawa sambil merentangkan lengannya ke penjagalan di belakangnya. "Kau terkejut, bukan? Kebanyakan begitu. Biar kujelaskan."

Dia mengalihkan pandangannya dariku, dan beban berat seolah terangkat dari diriku. "Beritahu aku, Jason, kenapa kau pikir aku menciptakan manusia?"

"Aku...tak yakin." Ujarku gemetar. Pikiranku melayang ke hal-hal yang dulu kupelajari saat kecil. "Hm...Adam dan Hawa, 'kan? Kau ingin manusia, eh, mengurus taman surga atau semacamnya?"

Dia tertawa dengan nada mengerikan. "Tidak, tidak. Itu interpretasi manusia, Jason. Pikir lebih keras lagi, di luar apa yang sudah dicekokkan padamu."

"Aku...tak bisa," ujarku pelan.

"Ini mungkin membantu. Kenapa manusia membesarkan ternak?"

Aku terkejut. "Untuk...makan?"

Dia mengangguk. "Ya, tepat. Kalian membesarkan ternak untuk menjagal mereka. Kalian mungkin menamai ternak itu dan jatuh sayang pada mereka, tapi ujung-ujungnya tetap sama."

Darahku seolah mendingin saat benakku mulai menyatukan fakta demi fakta itu. Analogi itu hanya mengantarkan pada satu kesimpulan mengerikan.

"Kami adalah...ternak?"

"Tepat sekali."

Aku merasakan isakan nyaris meletus dari kerongkonganku.

"Mengapa? Mengapa kau melakukan ini pada kami? Manusia mengabdikan hidup mereka untukmu! Perang dilancarkan atas namamu! Bagaimana kau...mengkhianati kami seperti ini!?"

Dia mengangkat alis kelabunya. "Pengkhianatan? Begitukah menurutmu?" Aku tak menjawab. "Aku yang menciptakan kalian. Aku memberi kalian semua yang kalian inginkan. Apakah salah kalau aku menginginkan sesuatu sebagai balasannya?"

"Kukira...kau mencintai kami..." ujarku, suaraku kini mengecil menjadi bisikan.

Dia memberiku senyuman yang nampak nyaris kebapakan. "Oh, tidak. Aku tidak mencintai atau membenci umat manusia. Pada akhirnya, kalian semua toh hanya ternak."

Dengan kalimat terakhir itu, dia menyodorkan sebuah gergaji tulang padaku. "Sekarang, ayo bekerja. Dan tolong tersenyum, ya?"

Aku hendak protes, namun kemudian menyadari bahwa aku tak lagi punya kehendak bebas. Berusaha menahan air mata, aku memaksakan senyuman lebar, dan mulai bekerja bersama para malaikat yang lainnya.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar