Fajar
yang harum kematian. Masih berbau kedukaan. Sehari yang lalu segala
masih cemerlang, masih beraroma kehidupan. Namun sejak kemudian,
segalanya berbalik pelik; mayat-mayat berserakan seperti grigit di musim
penghujan. Tumpang-tindih bagai tak punya arti.
Aku pikir seluruh orang
yang datang kemari tak perlu lagi dicekoki bermacam dalih lain untuk
berontak. Bahwa manusia berhak merdeka, menentukan arahnya sendiri.
Mereka berada di sini sebab satu alasan; mengecam penindasan. Mengutuk
sebuah pengekangan. Setiap satu maknanya.
Seorang kawanku
ambruk lagi ke tanah. Jantungnya tertembus peluru timah hingga berlubang
sampai belakang. Ia keburu kandas sebelum sempat melihat akhir dari
sebuah kisah. Perang laknat ini memisahkan raga dengan jiwa, suami
dengan istri, kakanda dengan dinda, sahabat dan kawan.
"Kebebasan itu mahal harganya. Saya sungguh tak sanggup membayar.
Izinkan saya mencari jalan kembali. Saya belum siap bertemu Illahi."
"Pulanglah lekas. Nikmati sisa hidupmu dengan makanan bekas para penindas."
"Biarkan aku pulang. Badanku tiba-tiba terasa sakit meriang."
"Tentu, cepat pergi ke tabib, sekalian tanya apa dia punya obat untuk pejuang yang meninggalkan seorang karib."
"Aku mempertanyakan kewarasan. Sebandingkah nyawa dengan kehormatan?
Dengan harga diri yang kau bela mati-matian? Atau semua yang
kaukorbankan?"
"Tanya saja pada kompeni-kompeni bangsat itu.
Mereka tak akan bisa mendengar barang sejeda. Peluru-peluru itu
berdesing terlalu bising. Mereka masih terlalu sibuk menembaki.
Menginjak-injak batok kepala pribumi."
"Kita tak punya kesempatan menang. Mereka ada di atas angin."
"Mereka tak akan sembunyi di balik beton-beton bangunan benteng jika
bukan pengecut. Mereka takut kalah. Mereka ngeri dengan mati."
Aku tak akan bilang yang sebenarnya dalam keadaan begini. Perang
kerapkali berat sebelah. Harapan nyatanya masih mampu memberi sedikit
keyakinan dan kekuatan meski hanya sekadar kebohongan. Tak masalah jika
aku dilecuti sampai mati, atau dimasukkan sekandang dengan harimau ganas
bergigi belati. Tak mengapa jika seumur hidup akan kuhabiskan dalam
Fort Rotterdam yang membusuk. Yang jadi perkara adalah ketika tanah ini
kehilangan jati diri. Jawa mesti dilindungi. Penindas tak boleh
dibiarkan lepas.
Hiiii
BalasHapus