Lelaki
tua itu menatapku dari kejauhan, melihat langkahku yang tak utuh,
terpatah-patah, seakan ingin mati. Dia melihat sesuatu mengalir dari
wajahku, aku tak bisa menyembunyikannya, dia sudah melihatnya. Itu bukan
peluh, bukan juga tangisan hujan di malam hari.
Dia
mendekatiku, perlahan, dengan suara parau dan berat dia memberanikan
diri bertanya, "Nak, sakitkah kau? Wajahmu pucat, matamu berair, apa kau
butuh obat?"
Aku menghentikan langkahku, menjawabnya tak kalah
berat, "Aku tak pernah merasa sakit, Pak. Air yang keluar dari mataku
adalah airmata kebahagiaan."
"Bagaimana bisa?"
"Tentu saja bisa, mengapa tidak? Tuhan saja bisa menangis, mengapa aku tidak?"
"Aku tidak paham, Nak."
"Airmata ini adalah sebuah kebahagiaan akan sebuah penyangkalan hati,
seperti seseorang yang pernah menyangkal Tuhannya sebanyak 3 kali,
adakah Tuhannya merasa sakit? Tidak. Demikian aku, aku bahagia, bagiku
penyangkalannya adalah sebuah bukti dia akan kembali padaku. Dia bukan
Judas yang akan menyerahkan aku pada kematian, tetapi dia adalah Petrus
yang pada akhirnya bertobat dan kembali mengakui aku di dalam hatinya."
Aku tersenyum. Aku bukan sedang memainkan filsafat atau menjabarkan isi
dari sebuah surat, melainkan melukiskan sebuah lukisan abstrak yang
belum selesai.
"Ada apa dengan hati?" Tanya lelaki tua serupa wartawan rubrik berita realita hidup, lalu aku; narasumbernya.
"Hati ini masih menjaga hati dengan hati-hati. Hati ini tak mau bermain
api, atau hati ini beserta raga yang mengisi akan mati di tanah darah,
karena menjadi pendosa yang menyerahkan hati pada yang lain bukan pada
tuannya. Bagiku, biarlah aku disangkal namun aku tak akan menyangkal
pada siapa pun, bahwa aku memang menyimpan rasa ini, kalau perlu sampai
nanti aku diminta pergi. Tapi Pak, jauh di sini,"--aku menunjuk dadaku
yang berdetak semakin tak karuan--" masih ada penantian yang tak akan
pernah lelah menanti, tak akan pernah letih memohon di dalam doa, meski
harus meminta sampai rambutku memutih, memintanya kembali ke jalan yang
biasa kami lalui, selaksa rindu akan nyanyian pujian serta hening doa
yang menyejukkan kalbu, akan membuatnya teringat padaku. Yang aku punya
hanya sejumput rindu, tergenang dalam doa yang tak kunjung putus
kupanjatkan, meniti rosario dengan jari-jari bergetar, suatu saat, ya,
suatu saat ... dia pasti kembali."
Airmataku semakin kental
bukan lagi bening seperti air di Danau Batur, tetapi pekat memerah,
nampaknya ... malam semakin lekat di pandangan, waktuku kembali menitip
doa untuknya.
"Airmatamu memerah, apa kau akan mati?"
"Tidak, Pak. Kebahagiaan tidak akan mematikanku. Sungguh aku berbicara
dalam sadar, aku bahagia, karena bisa mencintainya. Airmata yang memerah
ini bukan karena aku sakit, melainkan pengorbanan dari setiap pintalan
doa dari waktu yang terus bergerak, yang akan membawa kami bersama."
Lelaki tua mengangguk, tersenyum tipis, tak lagi bertanya, dia berjalan
mendahuluiku, tubuh ringkihnya kemudian menghilang di belokan.
Lalu aku?
Aku masih berdiri di tempat yang sama menunggu dini hari kembali ke peraduan, melafalkan lantunan doa yang sama, demi kau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar