Jumat, 30 September 2016

Menanti Hati

Lelaki tua itu menatapku dari kejauhan, melihat langkahku yang tak utuh, terpatah-patah, seakan ingin mati. Dia melihat sesuatu mengalir dari wajahku, aku tak bisa menyembunyikannya, dia sudah melihatnya. Itu bukan peluh, bukan juga tangisan hujan di malam hari.

Dia mendekatiku, perlahan, dengan suara parau dan berat dia memberanikan diri bertanya, "Nak, sakitkah kau? Wajahmu pucat, matamu berair, apa kau butuh obat?"

Aku menghentikan langkahku, menjawabnya tak kalah berat, "Aku tak pernah merasa sakit, Pak. Air yang keluar dari mataku adalah airmata kebahagiaan."

"Bagaimana bisa?"

"Tentu saja bisa, mengapa tidak? Tuhan saja bisa menangis, mengapa aku tidak?"

"Aku tidak paham, Nak."

"Airmata ini adalah sebuah kebahagiaan akan sebuah penyangkalan hati, seperti seseorang yang pernah menyangkal Tuhannya sebanyak 3 kali, adakah Tuhannya merasa sakit? Tidak. Demikian aku, aku bahagia, bagiku penyangkalannya adalah sebuah bukti dia akan kembali padaku. Dia bukan Judas yang akan menyerahkan aku pada kematian, tetapi dia adalah Petrus yang pada akhirnya bertobat dan kembali mengakui aku di dalam hatinya." Aku tersenyum. Aku bukan sedang memainkan filsafat atau menjabarkan isi dari sebuah surat, melainkan melukiskan sebuah lukisan abstrak yang belum selesai.

"Ada apa dengan hati?" Tanya lelaki tua serupa wartawan rubrik berita realita hidup, lalu aku; narasumbernya.

"Hati ini masih menjaga hati dengan hati-hati. Hati ini tak mau bermain api, atau hati ini beserta raga yang mengisi akan mati di tanah darah, karena menjadi pendosa yang menyerahkan hati pada yang lain bukan pada tuannya. Bagiku, biarlah aku disangkal namun aku tak akan menyangkal pada siapa pun, bahwa aku memang menyimpan rasa ini, kalau perlu sampai nanti aku diminta pergi. Tapi Pak, jauh di sini,"--aku menunjuk dadaku yang berdetak semakin tak karuan--" masih ada penantian yang tak akan pernah lelah menanti, tak akan pernah letih memohon di dalam doa, meski harus meminta sampai rambutku memutih, memintanya kembali ke jalan yang biasa kami lalui, selaksa rindu akan nyanyian pujian serta hening doa yang menyejukkan kalbu, akan membuatnya teringat padaku. Yang aku punya hanya sejumput rindu, tergenang dalam doa yang tak kunjung putus kupanjatkan, meniti rosario dengan jari-jari bergetar, suatu saat, ya, suatu saat ... dia pasti kembali."

Airmataku semakin kental bukan lagi bening seperti air di Danau Batur, tetapi pekat memerah, nampaknya ... malam semakin lekat di pandangan, waktuku kembali menitip doa untuknya.

"Airmatamu memerah, apa kau akan mati?"

"Tidak, Pak. Kebahagiaan tidak akan mematikanku. Sungguh aku berbicara dalam sadar, aku bahagia, karena bisa mencintainya. Airmata yang memerah ini bukan karena aku sakit, melainkan pengorbanan dari setiap pintalan doa dari waktu yang terus bergerak, yang akan membawa kami bersama."

Lelaki tua mengangguk, tersenyum tipis, tak lagi bertanya, dia berjalan mendahuluiku, tubuh ringkihnya kemudian menghilang di belokan.

Lalu aku?

Aku masih berdiri di tempat yang sama menunggu dini hari kembali ke peraduan, melafalkan lantunan doa yang sama, demi kau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar