Dulu
aku selalu ingin menjadi semacam "pemburu Nazi." Aku sering menonton
film-film macam "The Boys from Brazil," jadi itu lebih seperti cita-cita
yang digabung dengan sedikit fantasi. Tapi ternyata tren perburuan Nazi
itu sudah lewat; aku lahir sedikit terlambat rupanya. Tapi aku tetap
meneliti tentang hal-hal seperti itu, sebagai hobi. "Operasi Paperclip"
terutama membuatku tertarik. Banyak mantan ilmuwan Nazi direkrut oleh
Amerika Serikat setelah perang berakhir dan diberi pengampunan penuh.
Ini bukan rahasia lagi, dan malah banyak dari ilmuwan-ilmuwan itu yang
cukup terkenal; Von Braun dan Heisenberg adalah dua contoh populer. Aku
kemudian bertanya-tanya: jika para ilmuwan Jerman dibawa masuk ke
Amerika, bagaimana dengan ilmuwan dari negara-negara poros lainnya? Apa
tidak ada penelitian mereka yang dianggap bisa bermanfaat bagi Amerika?
Tidak ada apa-apa dari Italia, dan aku tidak kaget. Tetapi
Jepang...Jepang rupanya sangat tertarik dalam perang biologis. Berbagai
fasilitas militer dengan nama-nama yang tak mencurigakan seperti "Pusat
Pencegahan Penyakit Kuda Perang" atau "Departemen Pencegahan Epidemi dan
Pemurnian Air" didirikan di berbagai wilayah di Cina yang mereka
duduki. Kedua fasilita ini adalah lokasi unit-unit yang dikenal sebagai
Unit 731 dan Unit 100, yang dua-duanya terlibat dalam program-program
mengerikan: eksperimen pada manusia, pengembangbiakan wabah, penggunaan
senjata biologis pada orang sipil. Mereka punya banyak persedian subyek
tes. Lagipula, orang-orang sipil di area-area di Cina yang mereka duduki
dianggap tidak berharga. Tetapi aku tidak tertarik dengan perangnya.
Aku lebih tertarik dengan apa yang terjadi setelahnya, jadi aku terus
meneliti.
Setelah Perang Dingin selesai, banyak dokumen sisa
perang mulai dianalisis. Kebanyakan tak berguna, tetapi ada beberapa hal
menarik. Tidak ada rekaman atau dokumentasi apapun terkait Unit 731 dan
Unit 100 selama Perang Dunia II. Aku tidak tahu apakah mereka dibawa
pergi atau dihancurkan menjelang akhir perang. Shiro Ishii, Masaji
Kitano dan Masami Kitaoka adalah 3 nama yang berhasil kuperoleh dari
setiap sumber data yang berhasil kuperoleh, tapi data-data itu
kebanyakan dari interogasi dan testimoni pasca perang. Jadi, apa yang
terjadi pada mereka setelah perang usai?
Pertama-tama, semua
anggota Unit 731 dan kebanyakan anggota Unit 100 diberi pengampunan
penuh oleh para pihak yang bertanggungjawab untuk Operasi Paperclip.
Yang paling mudah dilacak adalah Letnan Masami Kitaoka. Dia ditahan pada
tahun 1956 setelah ketahuan memanfaatkan jabatannya di Institut
Nasional Ilmu Kesehatan untuk dengan sengaja menginfeksi pasien dengan
berbagai penyakit. Korban-korbannya kebanyakan adalah pasien penderita
gangguan mental, karena testimoni mereka tidak meyakinkan. Ketika yang
berwenang datang untuk menahannya pada tanggal 23 Maret 1956, laporan
resmi menyatakan bahwa mereka mati karena "Sebab Alami." Penyebab
"kematian alami" ini tidak diketahui, begitu juga dengan waktu kematian,
namun semuanya terlalu mencurigakan untuk disebut kebetulan. Misalnya,
tindakannya terlalu terorganisir, dan dilakukan dengan hati-hati,
menunjukkan bahwa ini adalah perbuatan peneliti berpengalaman.
Informasi tentang Ishii dan Kitano lebih sulit dilacak daripada Kitaoka,
dan tiap petunjuk yang ada hanya bisa diperoleh setelah penelitian
panjang. Aku jadi agak...sedikit terobsesi, tapi itu memang menarik
sekali.
Kitano dan Ishii diampuni dari kejahatan perang mereka,
sebagai ganti data penelitian mereka. Setelah diberi pengarahan, mereka
dilepas oleh CIA, lantas berpisah jalan. Kitano tetap di Jepang, tetapi
Ishii pergi ke Amerika. Tidak ada catatan resmi tentang itu, dan dari
sana, semuanya jadi sedikit...aneh. Kitano menghilang. Tidak ada laporan
resmi atau apalah. Informasi terbaik yang bisa kutemukan adalah laporan
simpang siur KGB bahwa "Letnan Jenderal Kitano kemungkinan berada di
Jepang."
Laporan CIA jauh lebih lengkap. Apa yang berhasil
kuperoleh memberitahu bahwa seorang "Dr. Ishii" menjadi "konsultan untuk
penelitian di Fort Detrick," tahun 1947. Fort Detrick punya reputasi
sebagai pusat eksperimen untuk penelitian biomedis. Jika ini bagian dari
syarat pengampunannya, aku menduga CIA atau institusi lainnya sengaja
menempatkannya di sana, tapi mungkin juga dia di sana karena keinginan
sendiri. Aku lalu menggali rekaman medis lama dari Fort Detrick.
Kebanyakan tidak berguna, tetapi aku berhasil mendapatkan rekaman
informasi dari bangsal psikiatri. Dulu, dokter tidak tahu apa itu
Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD), dan menganggapnya sebagai bentuk
kegilaan. Itulah diagnosis untuk pasien bernama Prajurit Richards.
17 Februari 1947: "Subyek menggambarkan memori jelas, sering cemas.
Demam ringan. Berkeras dia disiksa oleh orang Jepang. Mungkin salah satu
episode kenangan buruknya, tetapi berdasarkan laporannya, Richards
tercatat tidak pernah menjadi tawanan perang."
2 Maret 1947:
"Kondisi Richards memburuk. Didiagnosis gila dan ditransfer ke ruang
isolasi. Dia menyerang salah satu perawat pria, menyebut pria itu adalah
penyiksanya karena si perawat kebetulan orang Jepang. Harus minta maaf
pada perawat itu. Aku tidak mengenal perawat itu. Aneh, kupikir aku
kenal semua orang."
5 Maret 1947: "Pukul 08.00. Richards
meninggal. Gejala-gejala merujuk ke tifus, walaupun laporan subyek tidak
menunjukkan gejala penyakit. Aku harus menemui perawat itu."
Laporan ini cocok sekali dengan profil Ishii; bereksperimen pada orang
yang dianggap terlalu gila atau tidak stabil untuk bersaksi tentangnya.
Sebuah catatan kecil dalam ulasan tentang para penjahat perang menyebut
bahwa Ishii membuka sebuah klinik di Jepang, di mana dia melakukan
pemeriksaan dan vaksinasi secara gratis (saat itu tahun 1948, jadi
kemungkinan itu bukan Ishii, tapi Kitano, walau Ishii sepertinya juga
sempat mengunjungi klinik itu). Akan tetapi, pemeriksaan dan vaksinasi
gratis itu bukan tindakan amal; itu hanya strategi untuk mengundang
pasien-pasien miskin dan menjadikan mereka subyek tes tanpa
sepengetahuan mereka. Hal ini dikonfirmasi oleh beberapa laporan tentang
kematian akibat penyakit yang sepertinya janggal--dalam beberapa kasus,
kondisi itu datang secara tiba-tiba. Dalam kasus lainnya, jenis
penyakit yang belum pernah terdengar sebelumnya mendadak menyebar dalam
komunitas yang terisolasi.
Aku mulanya terus mencaritahu
tentang Ishii lewat berbagai dokumen terkait proyek MKULTRA, tetapi
setelah beberapa lama, aku sadar kalau aku sudah terlalu banyak
terpengaruh berbagai rumor dan gosip. Akan tetapi, pencarianku tidak
sepenuhnya sia-sia. Aku menemukan fotokopi sebuah artikel koran Jepang
dari tahun 1961, yang mengaitkan Kitano dengan CIA. Artikel itu
menggambarkan bagaimana seorang pria yang menyaru sebagai pejabat
kesehatan mendatangi sebuah kantor pemerintahan kecil di Fukuoka, dan
memberi pil "antibiotik" kepada 6 orang pegawai. Sulit mengetahui benar
apa isinya, namun sepertinya isi pil-pil tersebut adalah toksin yang
diekstrak dari bakteri Burkholderia mallei. Pil tersebut menyebabkan
kejang-kejang dan keracunan darah yang berujung pada shock, membunuh 2
orang pegawai dan membuat 4 orang lainnya dirawat di rumah sakit. Uang
sebesar $25,000 dicuri, dan laporan resminya menyebut perampokan. Zat
yang digunakan itu membuatku yakin bahwa orang itu adalah Kitano. Karena
aku tak bisa menemukan rincian lebih lanjut tentang kantor yang katanya
dirampok itu, aku hanya bisa menduga-duga mengapa tindakan yang
berisiko itu dilakukan dengan cara tersebut.
Untuk beberapa
lama, keadaan agak tenang. Kemudian, pada akhir tahun 1980-an, sebuah
perusahan farmasi di Jepang bernama Green Cross dituduh menyebarkan
suplai darah yang terkontaminasi virus HIV. 30,000 orang menerima
transfusi darah tercemar. Ketika meneliti hal ini, aku menemukan sebuah
situs kecil yang dikelola seorang Jepang yang mengaku "orang dalam,"
yang membuatku mulai memahami hubungan antar beberapa peristiwa yang
sebelumnya nampaknya tidak berkaitan. Menurut bukti-bukti yang diajukan,
darah tercemar itu bukan sekadar tak sengaja diberikan, tapi memang
sudah ditandai secara khusus sebelumnya. Semua kantong darah yang dites
positif mengandung virus HIV datang dari selot bernomor 18440-B. Dari
800 kasus yang terdokumentasi dimana para individual menerima transfusi
darah dari selot ini, 432 positif ternfeksi HIV. Kabar yang beredar
adalah itu akibat sistem kendali mutu yang buruk. Akan tetapi, darah
dari selot ini ternyata dilacak secara khusus, dan tiap penerimanya
direkam secara rinci, sesuatu yang tidak umum dilakukan pada suplai
darah dari selot lain.
Kitano masih hidup ketika kasus darah
terinfeksi itu terjadi, dan dia adalah salah satu pendiri Green Cross.
Susah menganggap ini cuma kebetulan, tetapi namanya tidak pernah
disebut-sebut. Dia dilaporkan meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil
segera setelahnya. Satu hal lagi yang rasanya mustahil cuma kebetulan.
Pada tahun 2008, Dokter Radovan Karadžic, seorang penjahat perang yang
dicari karena partisipasinya dalam Perang Bosnia, akhirnya ditangkap.
Dia telah bersembunyi dari pihak berwenang menggunakan identitas palsu:
"dr. Dragan David Dabic." Dia mendirikan klinik kecil yang punya
spesialisasi "pengobatan alternatif." Seorang reporter mengunjungi para
pasien "dr. Dabic," dan berhasil mengungkap sesuatu. Dari 12 mantan
pasien yang diwawancarai, 11 melaporkan bahwa mereka takjub tentang
betapa kaya kelihatannya si dokter, walaupun pekerjaannya nampaknya
tidak mendatangkan banyak uang. 7 orang mantan pasien melaporkan bahwa
mereka "dirawat oleh seorang perawat pria berwajah asing." 4 orang di
antara mantan pasien tersebut kemudian meninggal karena berbagai
penyakit.
Siapakah "perawat" ini? Shiro Ishii dan Masaji Kitano
pastilah sudah meninggal sekarang. Ishii dan Kitano sama-sama pernah
membuka klinik, jadi apakah mereka punya perawat yang kemudian menjadi
semacam penerus? Apa motivasi perawat asing ini? Patriotisme sesat
terhadap kekaisaran masa lampau? Uang? Rasa berkuasa? Atau mungkin
karena itulah satu-satunya hidup yang dikenalnya? Aku benar-benar tak
mau tahu.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar