Rabu, 27 Juli 2016

Basket (Riddle)


Basket sudah menjadi rutinitasku belakangan ini. Aku sudah menggelutinya sejak awal-awal masuk SMP dulu, 4 tahun lalu.
Aku adalah bagian dari tim inti di SMA ku. Beberapa bulan kedepan, kami akan ikut dalam kejuaraan nasional. Well, kau akan tau sesibuk apa kami dibuatnya nanti.

Malam ini kami akan latihan lagi untuk persiapan menjelang Jurnas. Tapi sesampainya di lapangan, sial, ternyata yang datang hanya sedikit sekali. Hanya ada 6 orang disana, termasuk aku. Gila! Mereka sebenarnya niat nggak sih?
“Katanya sih pada nggak berangkat gara-gara takut. Ada gosip beredar, disini habis buat pertengkaran antar preman kampung. Gue juga ngga tau sih, masak preman bentrok di dalem sekolah ya? Ya kan?,” kata senior sekaligus kapten tim kami, Atang. 

Yah, mau mereka tak datang kek, mau sakit kek, mau takut kek. Toh semuanya sama saja di setiap latihan. Selalu aku yang mendorong keranjang bola dan menyala-nyalakan lampu. Bedanya, kali ini kita hanya latihan di satu ring karena sepi.
Hey.. hey.. hey.. Jangan mengejek ya. Walaupun aku paling junior dan paling disuruh-suruh di tim inti, aku tak pernah bolos dari starting 5 lho. Aku shooting guard utama di tim, bahkan terbaik di tingkat nasional.
Hey.. hey.. hey.. Masih tak percaya? Kalau begitu kau harus melihatku bermain. Percayalah, setiap aku akan menembak 3 points, pastikan bahwa cewek-cewek di sekitarmu itu berteriak, “Arial..!!! Arial..!!!” dengan heboh. Kau akan iri nanti.
Entahlah, wajahku memang standard, tapi kata mereka, gaya-ku lah yang terlihat keren. Bagaimana aku menembak dan berbalik badan sebelum bola masuk ke ring, dimata mereka adalah gaya yang paling cool. 
Tadinya sih gaya itu memang tak kusengaja. Tim ini terkenal dengan pertahanannya yang sangat kuat. Alhasil, aku sudah harus kembali dengan cepat sehabis menembak. Terciptalah gaya ‘cuek’ ini. 
Nah, kesan cuek yang mendasar itulah yang membuat mereka –cewek-cewek– semakin liar. Apalagi kalau tembakanku itu clean shoot yang mulus. Wow, mereka pasti berteriak keras. Akhirnya, aku jadi ketagihan bergaya sehabis melakukan shooting.
Itu juga kulakukan setiap aku latihan. Caranya gampang. Hanya berdiri di belakang garis 3 points di belakang teman-teman, mengambil satu bola dari keranjang bola, membayangkan cewek-cewek berteriak, “Arial..!!! Arial..!!!” dengan heboh, kemudian mulai shoot.

“Hei. Ini kenapa ada clurit di tengah lapangan!!” teriak Atang mengagetkan. Ah, tak usah dihiraukan, Atang memang sering marah-marah begitu.
Seorang shooter yang baik pasti tahu bolanya itu akan masuk atau tidak. Kali ini masuk. Yah, walaupun hanya latihan, tapi instingku ini sudah terlatih setara pertandingan final. Yang harus dilakukan tinggal berbalik, melebarkan tangan, lalu......
“Waaaaaa..,” jerit teman-teman berlarian dari arah belakangku.
“Aaaaaaaaaa.” Mereka berlarian keluar lapangan, keluar sekolah, ke tempat terang. Sial, aku hanya bisa latah saja mengikuti mereka.
“Hoeek..,” beberapa temanku muntah-muntah setelah sampai jalan raya.
“Heh, ngapain sih lari-lari,” tanyaku megap-megap.
“Ta..tadi waktu kita main, a..ada kepala terbang yal,” kata Andi.
“Ah. Kepala apa??”
“Kepala orang... Masuk ke ring dengan sempurna. Begitu sampai lantai, darahnya muncrat kemana-mana!!!,” kata Atang.
Setelah itu, aku hanya bisa melihat tanganku. Ada semacam noda lengket disana.
Kemudian yang kuingat setelahnya hanyalah gelap. Aku pingsan.


Jawaban:
Bola yang di lempar si arial sebenernya adalah kepala preman yang brentrok disitu sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar