Minggu, 24 Juli 2016
The Scratching Curse (Creepypasta)
"Krekkk..krrekk kreett..." kudengar suara berderit-derit dari arah jendela teras. Aku pun melongok keluar, memeriksa keadaan. Sepi. Kosong. Melompong. Mungkin hanya perasaanku. Ya sudahlah.
Esok malamnya, pada jam yang sama, "Krreeeeek... kreeeeeekkkk... kreeeerrrkk..."
Lagi-lagi suara itu mengusik indera pendengaran. Namun kali ini terdengar dari luar pintu kamar. Bunyinya pun lebih keras dan seolah lebih dekat. Maka segera kubuka pintu kamar.
Nihil. Kosong. Melompong. Sunyi. Ya sudahlah, mungkin engsel pintu kamar ini agak berkarat, pikirku sambil-lalu.
Kemudian, keesokan malamnya, lagi-lagi...
"Grrrreeekk... gggrrrrreeekkk.... grgrhrekkk!!!,"
Kali ini aku benar-benar tidak salah dengar, ada suara garukan. Terdengar lebih jelas. Amat jelas, karena... itu berasal dari kolong bawah ranjangku! Deg! Jantungku seketika berdegup tegang. Oleh sebab nalar yang menyadari suatu keganjilan, entah apakah itu, semakin mendekat... dan kini hadir bersamaku di sini. Perasaan berkecamuk, bertubrukan dan bergumul hebat dalam hati. Namun rasa penasaran yang akhirnya menggenggam kemenangan. Dengan sigap aku beringsut, mencoba mengintip perlahan, setelah mengamati beberapa saat dalam gelapnya kolong tempat tidur yang lembab itu, sesuatu tertangkap mataku... membuatku terkesiap ngeri saat mengetahui bahwa memang ada sesosok makhluk asing di bawah sana. Padahal aku sungguh berharap keadaan akan sama seperti sebelum-sebelumnya, kosong, melompong, dan sunyi. Tapi tidak.
Walau hanya sekelebat, aku sempat melihatnya. Sosok itu. Kulit putih pucatnya kontras dengan kegelapan hitam kolong ranjang langsung tertangkap oleh mataku. Jari-jemarinya panjang nan lentik tengah sibuk mencakari papan bagian bawah kasur, namun ia segera berhenti saat menyadari tatapan nanarku. Ia menoleh menghadapku, lehernya memutar begitu cepat bak boneka kayu, ia lantas menyeringaikan seulas senyuman, menampakan bibir sobek dari telinga ke telinga yang membuatku merinding sampai tulang. Senyum lebar hitam, mata terbelalak ganas memancarkan aura membunuh, dengan rambut panjang lurus yang juga hitam terurai membingkai wajah tirus nan pucat. Makhluk itu tersenyum beberapa saat sambil mengeluarkan bunyi-bunyian yang kukira sebagai desisan sebelum akhirnya menghilang menembus lantai kolong.
Mampus! Aku membatin kasar. Berjuta pertanyaan sekonyong-konyong muncul dalam benakku. Semuanya menjurus pada sosok tersebut. Hal-hal yang membuatku menyesal telah nekat menjelajahi kuil keramat itu. Mereka sudah bilang, kuil itu jahat, kuil itu dikutuk, semua yang memasukinya akan terjerat sebuah kutukan. Kutukan Garukan mereka menyebutnya. Konon seorang penyihir wanita pernah dikurung di sana, mereka menyiksanya dan memotong kuku-kuku indah runcingnya sampai berdarah-darah. Ia berusaha melarikan diri, dengan cara apapun bahkan mencakari pintu-pintu serta jendela. Namun sia-sia. Hingga ketika ajal hampir tiba, dengan darah yang mengucur dari jemarinya, ia menuliskan sebait mantra. Barang siapa menginjakan kaki di sana, mereka akan terkena kutukannya.
Namun sebagai manusia berjiwa pongah, aku lebih mengutamakan logika dan nalar yang KINI malah berbalik mengkhianatiku. "Sial!" Umpatku. Kemarahan ini agak mengejutkan bahkan untuk diriku sendiri. Karena belum pernah sekalipun aku merasa setakut ini, merasa terancam oleh aura bengis yang baru saja dipancarkan makhluk itu padaku. Perasaanku jadi kacau balau. Maka kuputuskan... untuk menghadapinya. Aku terlalu gengsi untuk menyerah pada hal-hal yang selama ini kusangkal. Aku adalah manusia berpendidikan. Aku lebih tinggi dari pada mereka. Kutarik nafas dalam-dalam, dan...
"WOI!!, aku sudah lihat wujudmu, sudah tak usah bersembunyi!" Teriakku menantang. "Ini rumahku, bukan kuilmu! Jangan menggangguku! Berhenti menggaruki barang-barang! Nanti catnya bisa mengelupas! Dasar tolol!"
Satu detik... dua detik... tiga detik... sunyi.
Satu jam... dua jam... tiga jam... sepi.
Lelah menunggu, aku putuskan untuk berbaring sebentar. Mencoba menenangkan diri, meredam gejolak hati dan menyudahi kesongonganku untuk sejenak. Berpikir bahwa aku sudah menang. Makhluk itu pasti minggat entah kemana. Perasaan lega menyelimutiku, meninabobokan pikiranku, hingga kemudian aku pun jatuh terlelap dalam damai... damai... damai... yang segera kembali terusik hebat saat kurasakan sesuatu dari dalam diriku.
Dari dalam tubuhku, terasa sebuah sensasi ganjil. Seolah ada yang mencakar dan menggaruk. Awalnya pelan namun semakin lama semakin kencang di setiap garukannya, sampai-sampai tubuhku berguncang-guncang tak terkendali. Rasa perih yang menyeruak dari dalam seketika saja menghancurkan kedamaian yang kurasakan sesaat lalu, membuatku berguling guling tak tentu arah sambil mendekap perut yang serasa mau pecah. Aku mengerang tersendat, dengan nafas tersengal dan memburu. Seolah jantung, paru-paru, hati, usus dan segala organ dalamku tengah diaduk aduk dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali rasanya, bahkan untuk berteriak pun tak bisa. Satu-satunya hal yang terbayang dalam pikiranku adalah jari-jemari lentik pucat makhluk itu kini tengah beraksi sadis di dalam tubuhku.
Dan setelah beberapa menit yang terasa seperti siksaan tanpa akhir, cairan merah mulai bermuncratan, dari mana-mana, dari perutku yang mulai tercabik cabik, dari lubang hidung, serta dari mulutku. Bisakah kau bayangkan itu? Jangan. Nanti kau mual.
Sesaat sebelum ragaku melepaskan nyawanya, kudengar suara garukan itu berganti menjadi suara cekikikan nyaring meraung-raung dalam tempurung kepalaku. Kemudian semuanya pun menjadi gelap gulita diiringi bunyi statis melengking yang semakin lama semakin pelan lantas sunyi... dan menghilang.
Jadi begitulah teman, akhir dari riwayatku.
Tapi tunggu... apa kau dengar sesuatu... suara dari pintu terasmu... suara seperti... garukan...
"krrreeek kkreeek kreekhhh..."
Jangan khawatir teman, itu hanyalah aku yang sedang mengintaimu. Itu hanyalah aku yang sedang menyebarkan kutukan berantai ini. Aku sungguh tak sabar ingin mengaduk-aduk isi perutmu dari dalam dengan jari-jariku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar