Rabu, 27 Juli 2016

Bedtime (Creepypasta)


Waktu tidur seharusnya menjadi hal yang menyenangkan bagi anak-anak yang kelelahan; namun bagiku hal itu adalah peristiwa yang mengerikan. Ketika beberapa anak mungkin keberatan disuruh tidur sebelum mereka selesai menonton film atau bermain game, saat aku masih kecil, malam hari merupakan hal yang benar-benar menakutkan. Bahkan hingga sekarang jauh di dalam pikiranku, aku masih meyakininya.


Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia sains, aku tidak bisa membuktikan yang terjadi padaku dulu itu nyata secara objektif, namun aku bersumpah yang kualami sungguh menyeramkan. Sebuah ketakutan dalam hidupku, yang dengan senang hati kudeskripsikan sebagai sesuatu yang sangat berbeda. Aku akan menceritakannya pada kalian semampuku, walau sebenarnya aku lebih senang untuk melupakannya.
Aku tidak ingat secara persis kapan hal itu dimulai, tapi rasa takut ku untuk tidur sepertinya bermula ketika aku mulai memiliki kamar sendiri. Saat itu aku masih berusia 8 tahun dan aku masih tidur bersama kakak laki-laki ku. Hal yang ia bisa pahami sebagai kakak yang berusia 5 tahun lebih tua dariku. Namun kemudian kakak ingin memiliki kamar sendiri sehingga aku dipindahkan ke sebuah kamar di bagian belakang rumah.

Kamar itu kecil, sempit dan agak panjang walau sedikit aneh. Cukup besar untuk menampung sebuah tempat tidur, dan beberapa lemari berlaci tapi tidak muat jika ditambahkan perkakas lain. Aku tidak bisa keberatan karena walau saat itu aku masih belia, aku mengerti rumah kami tidak besar dan aku tidak punya alasan untuk mengeluhkan hal itu. Lagipula keluarga kami saling memperhatikan dan menyayangi satu sama lain. Bisa dibilang aku memiliki masa kecil yang menyenangkan di rumah itu, saat hari masih terang.

Di kamarku ada sebuah jendela yang berhadapan langsung dengan kebun di belakang rumah. Kelihatannya tidak mencolok, namun bahkan ketika matahari sedang terik, sangat sedikit cahaya yang masuk melewati jendela itu, seolah sinar matahari pun enggan berpapasan dengan kehidupan di kamarku yang terpencil.

Ketika kakak ku dibelikan kasur baru, aku hanya mendapat kasur bertingat yang dulu kami gunakan ketika masih sekamar. Walau sedih harus tidur sendiri, aku cukup senang karena sekarang aku bisa tidur di kasur tingkat atas tempat kakak ku tidur dulu. Entah mengapa tidur di atas kelihatan lebih menantang bagiku.

Sejak pertama kali aku masuk ke kamar itu, aku dapat menangkap dengan jelas perasaan gelisah yang menjalar perlahan di benak ku. Aku berbaring di kasur sambil memandangi mainan tokoh aksi dan mobil-mobilanku berserakan di karpet berwarna hijau kebiruan. Seolah sedang terjadi pertempuran dan petualangan antar mainan di bawah sana. Lalu entah bagaimana mataku tertarik untuk melihat ke kasur di bawahku. Seolah aku melihat sesuatu di ujung mata. Sesuatu yang tidak seharusnya terlihat.
Kasur itu kosong, tanpa cacat cela dengan sebuah selimut biru tua yang dilipat secara rapi menutupi setengah bagian bantal berwarna putih. Aku tidak berspekulasi apapun saat itu. Aku hanyalah bocah kecil dan suara televisi orangtuaku yang terdengar dari luar mampu membuatku merasa aman dan dijaga. Aku pun tertidur.

Ketika kau terbangun dari tidur nyenyak karena sesuatu yg bergerak atau sebuah keributan, butuh beberapa saat bagimu untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Ada yang bergerak, hal itu tidak diragukan lagi. Pada awalnya aku tidak yakin apa itu. Semuanya gelap, hampir seperti gelap gulita. Namun masih ada cukup cahaya untuk memperlihatkan wujud dari kamar sempit itu. Ada dua hal yang mundul di benak ku hampir secara bersamaan. Yang pertama, orangtuaku pasti sudah tertidur karena rumah ini sangat gelap dan hening. Yang kedua adalah kegaduhan itu, bunyi yang membangunkanku.

Semakin aku tersadar, bunyi yang terdengar semakin familiar. Terkadang, bunyi paling sederhana merupakan bunyi yang paling menggelisahkan. Siulan angin dingin yang menerpa ranting pohon, langkah kaki tetangga yang mendekat, atau dalam hal ini, suara bedcover di bawahku yang menggersik dalam kegelapan.
Itu dia, gersikan selimut seolah seseorang sedang berbaring disana mencari posisi tidur yang paling nyaman. Aku berbaring disana, merasa sangsi entah suara itu hanya imajinasi atau hanya kucing peliharaanku mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan malam. Saat itulah aku menyadari pintu kamarku tertutup persis seperti saat sebelum aku tertidur. Ah, mungkin saja ibu ingin melihat keadaan diikuti oleh kucingku yang mengendap masuk kedalam. Ya, pasti seperti itu.

Aku memutar badan mengahdapkan wajahku ke dinding, menutup mata, berharap dalam kesia-siaan kalau-kalau aku mungkin akan kembali tertidur. Tepat saat aku berpindah posisi, bunyi itu berhenti. Aku mengira aku pasti mengganggu kucingku. Namun kemudian aku segera menyadari bahwa ‘pengunjung’ yang tidur di bawahku bukan berasal dari dunia ini, dan jauh lebih menakutkan. 

Saat aku mulai waspada dan terancam di posisiku, ‘pengunjung’ di bawah mulai menghantam kasur secara kasar, seperti seorang anak yang tengah marah di atas tempat tidurnya. Aku bisa mendengar seprai dibawah seperti bergesek dengan keganasan yang semakin menjadi. Rasa takut mulai menjalariku. Berbeda dengan rasa tidak nyaman kecil sebelumnya, yang kualami sekarang sangat kuat dan menakutkan. Detak jantungku semakin berpacu bersamaan dengan mataku yang khawatir mengawasi kegelapan yang tak tertembus. Aku menangis sejadi-jadinya.

Sebagai seorang anak kecil, secara alami aku berteriak memanggil ibuku. Aku bisa mendengar kegemparan dari sisi lain rumah. Tapi saat aku mulai bernafas lega karena orangtuaku akan datang menyelematkanku, tempat tidur itu mulai berguncang dengan keras seperti sedang terjadi gempa bumi. Aku bisa mendengar seprai di bawahku berbunyi seperti ditarik-tarik. Membabi buta dan penuh kebencian. Aku tidak berani turun kebawah. Instingku saat itu khawatir jika aku turun, makhluk itu akan menarikku masuk dalam kegelapan. Aku mentup seluruh tubuhku dengan selimut, berharap hal ini akan melindungiku dari makhluk itu. Dalam hati aku benar-benar meronta memohon agar ibuku segera datang. Penantian itu terasa sangat panjang.

Akhirnya pintu itu terbuka dan aku bisa melihat keadaan sekitar yang bermandikan cahaya sementara kulihat kasur di bawahku yang tadi berkecamuk terlihat kosong dan rapi. Aku menangis dan ibu menenangkanku. Air mata ketakutan dan kelegaan mengalir di pipiku. Namun ditengah rasa takut dan kelegaan itu, aku tidak menceritakan penyebab mengapa aku seperti ini pada ibu. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa menceritakannya, tapi sesuatu dalam diriku yakin jika aku menceritakan hal ini pada siapapun, makhluk itu akan kembali dan menunjukkan eksistensinya.

Aku tidak terlalu paham, tapi sebagai seorang anak kecil aku bisa merasa bahwa ancaman tak kasat mata tersebut masih berada disana, mendengarkan kami. Ibuku kemudian tidur di kasur bawah menemaniku sampai pagi. Akhirnya kecemasanku berkurang dan kelelahan memaksaku jatuh tertidur. Tapi ternyata kegelisahanku masih berlanjut. Aku terbangun berkali-kali karena bunyi gersikan seprai.

Aku ingat hari berikutnya aku ingin sekali pergi, entah kemana saja dimanapun itu asal aku tidak harus berada di kamar sempit dan pengap tersebut. Hari itu kebetulan hari sabtu saat aku pergi keluar untuk bermain dan bersenang-senang dengan teman-temanku. Walaupun rumah ini kecil, kami cukup beruntung memiliki halaman belakang yang cukup luas. Kami sering bermain disana, bersembunyi diantara semak menjalar yang agak rimbun, memanjat pohon sycamore yang menjulang tinggi dan membayangkan kami sedang mengalami petualangan besar di pulau tropis tak berpenghuni. 

Di tengah kesenangan itu, tak sengaja mataku melirik ke arah jendela. Entah kenapa jendela kecil itu memberikan pemandangan ruang yang dingin dan menyeramkan, aku bergidik ngeri. Sementara itu, rerumputan hijau halaman belakang dan senyum keceriaan teman-temanku tidak dapat mengurangi ketegangan akibat kesan yang diperlihatkan kamar itu. Ada perasaan aneh tentang keberadaan suatu makhluk disana, mengamatiku bermain dengan penuh kedengkian, menunggu malam tiba saat aku akan sendirian.

Mungkin bagi kalian ini kedengaran aneh, tapi saat orangtuaku mengantarku masuk ke kamar di malam hari, aku hanya diam. Aku tidak mengeluh, bahkan tidak mencoba mencari alasan agar aku tidak tidur disana. Aku hanya mendengus dan berjalan masuk, naik ke atas kasur lalu menunggu. Walaupun aku sudah dewasa sekarang, namun jika aku mengalami hal tersebut lagi aku pasti akan menceritakannya pada orang lain. Tapi saat itu, walaupun usiaku sangat belia aku berpikir pasti aku akan kelihatan bodoh dan mengada jika menceritakan sesuatu tanpa ada bukti. Walaupun ini bukan alasan utamaku, karena aku merasa makhluk itu akan mengganas jika aku menceritakan kehadirannya pada orang lain.

Aneh bagaimana di waktu tertentu, ada kata yang begitu sulit untuk diucapkan, begitu tersembunyi dan sulit dideskripsikan, walau hal itu sudah sangat jelas. Kata itu akhirnya muncul dalam pikiranku pada malam kedua. Saat itu aku berbaring dalam kegelapan total, ketakutan, mewaspadai atmosfer yang perlahan berubah semakin pekat. Bersamaan dengan bunyi pertama gersikan sprei di kasur bawah, rasa cemas meningkat beriringan dengan irama detak jantungku, menyadari bahwa makhluk itu hadir lagi. Kata itu pun muncul dalam kepalaku.

Hantu.

Bersamaan dengan kemunculan kata itu, aku menyadari makhluk itu tidak bergerak lagi. Namun tak begitu lama, hembusan nafas berat yang berirama terdengar dari bawah. Aku bisa membayangkan rusuk dadanya naik turun didikuti oleh deru nafasnya. Aku benar-benar ketakutan dan sangat berharap makhluk itu segera pergi tanpa perlu menunjukkan diri. Keadaan rumah sendiri masih sama seperti malam sebelumnya, diselimuti kegelapan dan keheningan, kecuali suara nafasku yang tertahan dan juga nafas makhluk di bawah sana. Satu-satunya yang kuinginanku saat itu hanyalah kepergian makhluk tersebut. Lagipula apa yang diinginkannya dariku?

Tak lama makhluk itu kembali bergerak. Caranya bergerak jelas berbeda dari yang sebelumnya. Jika malam sebelumnya makhluk itu seperti berpindah ke pojok kasur secara sembarangan, kali ini makhluk itu seolah berpindah secara teratur dengan penuh kesadaran dan tujuan dalam dirinya. Makhluk itu berbaring dalam kegelapan, benar-benar berniat meneror seorang bocah kecil, namun aku merasakan sebuah pergerakan seperti.., seperti ia telah berdiri di atas kasur. Suara nafasnya yang berat semakin terdengar keras tepat di bawahku, seperti hanya kasurku yang memisahkan jarak antara kami berdua. 

Aku masih berbaring dengan air mata yang mengalir. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Sebelumnya aku yakin aku tidak akan merasa takut lagi, namun aku benar-benar salah. Aku membayangkan makhluk itu berdiri disana mencondongkan wajahnya ke arah kasurku dan berharap aku akan terbangun. Imajinasi itu kemudian berubah menjadi kenyataan yang jauh lebih mengerikan. Aku bisa merasakan makhluk itu mulai menyentuh dan mengetuk papan kayu penopang kasurku. Walau hanya di papan kayu, rasanya seperti ia mencucukkan jari-jarinya ke arahku. Aku menangis histeris, lalu kemudian goncangan dan getaran itu muncul kembali seperti malam sebelumnya. Aku melihat beberapa serpihan cat dinding berserakan diatas selimutku, sepertinya akibat dari kayu tempat tidur yang bergesekan keras mengenai dinding. Sekali lagi, aku diselamatkan oleh ibuku yang datang menenangkan dan membebaskanku dari kenyataan buruk yang baru aku alami. Dia bertanya mengapa aku sampai seperti ini, tapi aku tidak bisa mengatakan apapun padanya. Aku tidak berani berkata apapun. Aku hanya beralasan aku mengalami mimpi buruk dan alasan itu yang aku gunakan secara terus menerus di kemudian hari.

Kejadian ini terus berulang selama berbulan-bulan. Setiap malam aku akan terbangun oleh suara-suara dari bawah kasurku. Dan setiap aku mulai berteriak atau menangis, tempat tidurku akan berguncang dan bergetar dengan kasar lalu berhenti setiap ibuku muncul. Ibu lalu akan menemaniku dan tidur di kasur bawah hingga pagi, seolah tidak sadar akan ancaman yang menyiksa putranya setiap malam. Selama itu, aku terkadang akan berpura-pura sakit agar aku bisa tidur dengan orangtuaku, walaupun aku lebih sering berada dalam kamar itu sendirian untuk beberapa jam sebelum ibuku datang dan menemaniku. Di kamar yang enggan ditembus cahaya, sendirian bersama makhluk tersebut.
Seiring berjalannya waktu, kita akan mulai terbiasa akan segala hal, bahkan yang mengerikan sekalipun. Aku menyadari, untuk alasan apapun, makhluk ini tidak dapat menyakitiku ketika ibuku berada disini. Demikian juga dengan kehadiran ayahku, walaupun untuk membangunkannya dari tidur kelihatannya agak mustahil. Setelah beberapa bulan aku mulai terbiasa dengan kehadiran makhluk itu di kamarku. Tapi tolong jangan salah menduga kalau kami kemudian menjalin suatu pertemanan antar-dimensi. Aku masih sangat ketakutan dan mulai bisa merasakan keinginan dan karakternya, jika bisa dideskripsikan demikian. Makhluk yang dipenuhi dengan kebenciaan namun juga menginginkanku, atau mungkin segalanya.

Ketakutan terbesarku terjadi saat musim dingin.Waktu di siang hari menjadi lebih pendek sementara hari gelap jauh lebih lama. Menjanjikan lebih banyak kesempatan bagi makhluk ini untuk melancarkan terornya padaku. Saat itu merupakan waktu yang berat bagi keluarga kami. Nenekku adalah wanita yang baik dan lembut, namun kondisinya semakin memburuk sepeninggal kakek. Ibuku berusaha keras agar nenek tetap bisa bersosialisasi. Namun bagaimanapun penyakit dimensia merupakan penyakit yang kejam, memakan memori seseorang dari hari ke hari. Tak butuh waktu lama baginya untuk lupa pada kami semua. Ia tidak lagi mengenal seorangpun dari kami sehingga ia harus dipindahkan dari rumahnya ke rumah perawatan. Sebelum pindah nenek mengalami beberapa kesulitan sehingga memaksa ibuku tinggal disana untuk beberapa malam. Kepergian ibuku tentu membuatku cemas, bukan karena keadaan nenek, namun akan keberadaan makhluk tak kasat mata di kamarku dan kemungkinan yang bisa terjadi jika ia menyadari kepergian ibuku. Hanya kehadiran ibuku yang dapat menyelamatkanku dari teror ini.
Hari itu aku langsung bergegas pulang dari sekolah dan masuk ke kamar. Aku memindahkan sprei, selimut dan matras dari papan kayu di bawah lalu mengisinya dengan berbagai benda seperti meja kecil, beberapa laci dan kursi kecil. Aku bilang pada ayahku aku membuat sebuat kantor dan ia hanya tersenyum mengerti. Aku tak ingin memberi tempat bagi makhluk itu malam ini.

Hari semakin gelap. Aku berbaring di atas kasur menyadari ibuku tidak ada disini malam ini. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Satu-satunya yang ada dalam benak ku adalah mengambil sebuah rosario dari kotak perhiasan ibu. Keluargaku bukanlah keluarga yang sangat religius. Namun saat itu aku masih percaya kalau Tuhan itu ada dan berharap rosario ini dapat melindungiku. Walaupun aku merasa takut dan cemas, saat aku memegang rosario ini aku merasa lebih tenang dan akhirnya bisa jatuh terlelap. Aku berharap aku dapat terbangun di pagi hari tanpa mengalami apapun. Sayangnya, malam itu adalah malam paling mengerikan dari semua yang pernah kualami.

Aku tiba-tiba terbangun. Ruangan itu gelap. Mataku mulai mengamati jendela, pintu, dinding, mainan di kotak lemari dan aku tidak mendengar apapun. Tidak ada suara sprei yang ditarik tidak ada suara apapun. Kamar itu begitu sunyi seolah tak berpenghuni. Benar-benar tak berpenghuni, namun tidak kosong.

Makhluk mengerikan yang menggangguku selama ini tidak ada di bawah. Makhluk itu berada di kasurku! Aku mencoba menjerit namun suaraku tidak bisa keluar. Teror seolah mengacaukan pita suaraku. Aku diam tak bergerak, tidak ingin makhluk itu tahu aku telah bangun. Aku belum melihatnya, aku hanya bisa merasakannya di bawah selimutku. Aku bisa melihat bagaimana bentuk dan kontur posturnya dari atas selimut. Aku merasakan kehadirannya namun aku terlalu takut untuk melihat. Makhluk itu kemudian perlahan merayap ke tubuhku, aku merasakan beratnya menindih tubuhku. Sensasi yang tak akan pernah aku lupakan.

Jam demi jam berlalu dan aku tetap disana. Tak bersuara tak bergerak.
Jika sekarang sedang musim panas, saat ini seharusnya matahari sudah terbit. Namun di musim dingin seperti ini kegelapan terasa begitu panjang seperti tidak ada ujungnya. Aku tahu masih beberapa jam lagi sampai matahari akan bangun dari persemayamannya. Aku sebenarnya anak yang lemah, tapi aku sudah habis kesabaran. Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Rasa takut kadang dapat membuatmu menjadi pemberani dan kuat. Persis seperti yang kualami sekarang. Aku harus turun dari kasur ini bagaimanapun caranya! Kemudian aku teringat dengan rosario itu. Aku mencari di bawah bantal tempat kuletakkan sebelum tidur, namun aku tidak dapat menemukan apapun. Secara perlahan kugerakkan pergelangan tanganku untuk mencarinya, meminimalisir keributan dan gerakan yang mungkin menyadarkan pengunjung dibawah selimutku. Namun tetap saja nihil. Kemungkinan rosario itu jatuh dari ujung kasur, atau..diambil dari sana tanpa sepengetahuanku. Kehilangan rosario itu berarti kehilangan harapan bagiku. Bahkan di usia sebelia itu aku sudah memahami kematian, dan aku takut jika harus menghadapinya sekarang. Tapi aku pasti akan mati di kasur itu jika aku etap disana tanpa melakukan apapun. Aku harus keluar dari ruangan ini, tapi bagaimana? Haruskah aku menyelinap turun dan kemudian membuka pintu? Bagaimana kalau makhluk itu bisa lebih cepat dariku? 

Aku menyadari makhluk itu seperti tak sadar saat tanganku bergerak mencari rosario. Pemikiran aneh pun muncul di kepalaku. ‘Bagaimana jika makhluk itu tidur?’. Makhluk itu tidak terdengar bernafas sejak aku bangun. Mungkin saja ia istirahat karena merasa menang atasku. Bahwa akhirnya aku berada dalam cengkramannya. Atau ia mungkin sedang mempermainkanku setelah setiap teror malam hari yang tak terhitung jumlahnya, lalu sekarang ia bersamaku di bawah selimut, tanpa ibuku yang bisa kumintai tolong. Mungkin ia hanya ingin berada disana menikmati setiap momen kemenangan yang dia miliki atasku. Aku bernafas sehalus mungkin lalu mulai menggeser selimut dari tubuhku secara perlahan.

Namun apa yang kutemukan di bawah selimut itu selanjutnya membuat jantungku berhenti. Aku tidak melihatnya, namun saat menggeser selimut tanganku seperti menyentuh sesuatu. Sesuatu yang halus dan dingin. Sesuatu yang tidak salah lagi adalah tangan kurus dan panjang. Aku menahan nafas, sepertinya sekarang makhluk itu tahu aku sudah bangun.

Namun tidak ada yang terjadi. Makhluk itu tidak bersuara, bahkan makhluk itu terasa seperti, mati. Setelah beberapa saat aku kembali mencoba menyingkirkan selimutku secara perlahan. Tanganku kembali bersentuhan dengan makhluk itu. Aku bisa merasakan bentuk tangannya. Rasa penasaran mulai memenuhi pikiranku, membuatku berani menyentuh makhluk itu lagi hingga aku bisa merasakan sesuatu yang sepertinya pundak dari makhluk tersebut. Lengan makhluk itu terulur di tubuhku, seperti mendekapku saat aku tertidur. Bagaimanapun aku harus menyingkirkan tangan pucatnya dari tubuhku.

Aku bisa merasakan pakaian makhluk ini robek dan seperti compang-camping saat memindahkan lengannya, dan untuk beberapa alasan hal itu membuat nyaliku ciut seketika. Rasa takut kembali menghantui hati dan pikiranku, apalagi sesaat kemudian aku bisa merasakan rambutnya yang kusut dan berminyak. Aku tidak berani bertindak lebih jauh untuk menyentuh wajahnya walaupun sampai hari ini aku masih penasaran bagaimana bentuknya.

Ya Tuhan makhluk itu bergerak!

Makhluk itu bergerak. Gerakan kecil, namun lengannya mendekapku semakin erat. Aku tidak meneteskan air mata tapi demi Tuhan aku ingin sekali menangis. Semakin tangan makhluk itu mendekapku, perlahan tubuhku mulai bergeser mengikuti arah dekapannya hingga lengan kananku bersentuhan dengan dinding.

Dari semua hal yang terjadi di kamar itu, inilah yang terasa paling aneh. Aku menyadari bahwa makhluk ini sebenarnya tidak sedang berada di atas menindihku. Makhluk itu berasal dari dalam dinding. Tarikannya yang pelan berubah menjadi kasar dan kencang, seolah takut jika terlalu lama ia tidak akan memiliki kesempatan lagi. Aku berusaha melawannya, tapi tangan kurus makhluk itu terlalu kuat bagiku. Aku bisa melihat kepala makhluk itu menggeliat dari balik selimut. Sekarang aku tahu kemana makhluk itu ingin membawaku. Ia ingin menarikku ke dalam dinding! Aku berjuang mempertahankan hidupku. Suaraku pun akhirnya muncul. Aku menangis, menjerit, berteriak namun tidak seorangpun datang menyelamatkanku. Sesaat aku sadar mengapa makhluk ini seperti terburu-buru ingin menarikku bersamanya. Dari jendela aku mulai melihat seberkas cahaya. Aku berjuang sekuat tenaga. Jika aku bisa bertahan sedikit lagi saja, aku akan bebas dari cengkraman makhluk astral ini. Di tengah perjuanganku mempertahankan hidup, aku merasakan kepala makhluk itu seperti merangkak naik secara perlahan, hingga kepalanya menyembul keluar dari selimut, mendesah disertai dengan batuk parau. Aku tidak mengingat bentuk wajahnya, namun aku mengingat nafasnya yang busuk dan dingin menerpa wajahku.
Matahari akhirnya muncul dengan sempurna, menerangi kamarku dengan sinar yang agak temaram. Sementara beberapa saat sebelumnya aku telah pingsan oleh cengkraman jarinya di leherku, memeras kehidupan dari dalam diriku.

Aku terbangun tak berapa lama kemudian ketika ayah masuk dan menawarkan sarapan, sebuah pemandangan yang menggembirakan tentu saja. Aku berhasil selamat dari pengalaman paling menakutkan di sepanjang hidupku. Aku kemudian memindahkan tempat tidurku menjauh dari dinding itu dan meletakkan berbagai perkakas, yang kupercaya akan menghalangi makhluk itu keluar dari sana.

Minggu demi minggu berlalu tanpa kejadian yang berarti, walau pada suatu malam aku sempat terbangun oleh suara guncangan kasar dari arah perkakas yang kuletakkan menghadap dinding. Beberapa saat setelah g uncangan itu, aku mendengar desahan dari dalam dinding yang semakin lama semakin pelan dan menjauh hingga akhirnya menghilang. Aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun sebelumnya. Sampai hari ini aku masih terbangun dengan keringat dingin mengucur jika aku mendengar suara seprai yang menggersik, atau suara desahan berat dan batuk parau yang dingin. Dan tentu saja, aku tidak pernah menempatkan tempat tidurku di dekat dinding.

Beberapa tahun setelahnya, aku bertukar kamar dengan orangtuaku. Mereka ingin memakai ruangan pengap itu sebagai kamar tidur mereka. Mereka berkata kalau mereka tidak membutuhkan kamar yang besar dan akan lebih nyaman dengan ruanganku, lagipula mereka beralasan hanya butuh ruangan yang bisa memuat tempat tidur dan beberapa barang kecil.

Mereka bertahan di kamar itu selama 10 hari. Kami pindah rumah di hari ke 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar