Minggu, 31 Juli 2016

White Powder (Creepypasta)






Kembali, pria tua itu membuka kertas yang dilipat menjadi bentuk persegi kecil. Dalam kertas itu terdapat sebuah bubuk putih yang terbungkus plastik putih kecil, dan tambahan beberapa kata yang di bentuk dari huruf tempel—diambil dari potongan majalah atau koran—berbunyi, “Ini adalah bubuk pewujud keinginan, tuang bubuk ini pada air atau semacamnya, lalu minum air itu, dan harapanmu akan terkabul.”


Pria tua itu sebenarnya tahu, dirinya tidak sakit. Ia hanya butuh ketenangan, setelah anak dan istrinya pergi meninggalkan dirinya yang terbelit hutang akibat judi. Mereka sebenarnya tidak pergi, tapi dipaksa pergi. Oleh sekumpulan pemuda bertato yang memakai kacamata hitam. Itu karena di rumahnya hanya tertinggal sebuah meja makan dengan bakul nasi berkarat yang di dalamnya hanya tersisa beberapa butir nasi mengerak.

Picik, pikirnya. Manusia sungguh arogan, bahkan orang yang memberinya kertas dan bubuk ini.

Tangan gemetar yang meraih ragu gelas susu itu, kini tampak mantap. Dituangnya bubuk putih pewujud keinginan, dan diaduknya susu itu dengan jari.

Satu tegukan besar, lalu tegukan berikutnya yang temponya kian melemah. Diiringi dengan detak jam weker di atas meja, ia menghabiskan tetes terakhir. Sebelum tangan yang memegang gelas terkulai lemas.

***

“Ini pembunuhan,” sergah detektif yang memeriksa mayat pria tua berperut buncit dan berumur kira-kira 60 tahun.

“Kami menemukan cap dari kelompok rentenir penjudi di secarik kertas yang berisikan perintah untuk meminum bubuk racun. Tim forensik juga menemukan adanya kandungan racun dari plastik bekas ‘bubuk’ yang ditulis di kertas ini. Racun yang sama, yang bisa di temukan dalam proses suntik mati.”

Mereka membawa mayat pria tua itu, dan meminta agar kamar ini dijadikan TKP untuk sementara waktu. Tidak boleh ada yang masuk sembarangan ke kamar itu, sekalipun dokter atau perawat.

***

Di koridor lantai dasar, dekat tempat pembuangan sampah, seorang perawat mengejar dokter berperawakan tinggi dan tampan.

“Dokter William!” setengah berteriak, namun tetap menjaga suara agar tidak bising.

Dokter yang berumur 32 tahun itu membalik badan. “Ya? Ada apa?” senyumnya sangat menawan, hingga perawat tadi merasa pipinya memerah.

“Apa kau tidak takut jika mereka menemukanmu?” tanya perawat tadi. Wajahnya menampakkan kekalutan.

“Itu mustahil,” sanggahnya, dengan gelak badan yang menggoda. Ia mendekat dan memegang pipi perawat yang bernama Catherine. “Sudah kubilang bukan, tidak ada lagi yang membiayai perawatan pria tua itu, rumah sakit jiwa ini butuh dana lebih dan ruang yang cukup untuk pasien-pasien baru yang membawa banyak uang.”

Dokter William berbicara sangat dekat dengan wajah perawat itu, sehingga Catherine memejamkan matanya—entah karena malu, atau takut. Ia menggenggam tangan Catherine sambil menyelipkan suatu benda yang baru saja diambil dari jas putihnya. Dokter tampan itu berkata dengan suara yang halus dan sedikit serak.

“Sekarang, sentuhan terakhir. Buang stempel ini ke tempat terjauh yang kau bisa. Maka kau boleh bertamu lagi ke apartemenku, malam ini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar