Minggu, 19 Juni 2016
Ego and Humans
Aku tahu, dunia kita sudah hancur. Era manusia telah di ujung jarum. Tak ada, tak ada lagi yang bisa kaum kita lakukan. Penyesalan selalu datang terlambat.
Aku memandang hamparan tanah hitam bercampur besi yang kosong dengan pelan, dari jauh
cakrawala kemerahan abadi itu berkobar kobar, hendak membakar segala yang dijilatnya. Sungguh, aku sangat lelah memakai alat berat yang tertempel di hidungku ini yang terus terusan mengubah kabut merah disekitarku menjadi secercah oksigen putih. Kupandang tangan tangan ringkihku--pelapis besinya sudah berkarat.
Aku melangkah terhuyung huyung. Tak sengaja terjengkang oleh sebuah kerangka tengkorak yang tertanam di tanah. Manusia sudah hancur. Inilah dunia kita sekarang. Dunia kita yang asli dan indah telah hancur. Namun kitalah yang menghancurkannya--atas nama uang dan ego. Kini udara sudah terlalu tipis dan beracun untuk dihirup secara langsung dan kami harus membayar sangat mahal untuk mendapatkan alat pernapasan yang berat ini. Aku termasuk beruntung karena orang tuaku punya banyak uang, milyarder, namun sebagai seorang manusia, aku tak pernah merasa kaya. Kami tak pernah merasakan kekayaan sejati lagi sejak dunia ini hancur.
Minyak hitam yang menyengat dan busuk bocor dimana mana, radiasi kini begitu kuat sampai sampai kami, para manusia sudah bisa melihat pancarannya dengan mata telanjang. Walau kami tak pernah bermata telanjang, karena kami selalu memakai baju besi layaknya astronot saat menjejakkan kaki keluar dari rumah--yang lagi lagi harganya sangat mahal--untuk melindungi kulit kami agar tak langsung terbakar oleh pancaran radiasi dan panas. Rumah kami jauh di dalam tanah yang jelek itu, bukan lagi di atas tanah. Kami harus kenyang dengan makanan yang diolah dari tepung aneh yang mahalnya fantastis, setiap hari. Manusia kehilangan indra perasanya. Makanan menjadi sangat hambar di lidah kami. Kami rindu dengan nasi, yang rasanya berjuta kali lebih enak daripada tepung tawar ini.
Tak ada lagi sebutan untuk kutub selatan dan kutub utara atau antartika yang tampaknya pernah ada pada jaman nenek moyang kami dahulu. Mereka meleleh dan kini bercampur dengan lautan merkuri dan zat kimia yang bisa membuat kulit kami melepuh dan besi pun berkarat. Laut tak punya warna biru lagi, yang ada hanya warna hitam pekat, ataupun merah.
Namun tempat ini juga tak kalah buruknya.
Mereka bilang aku beruntung. Aku bisa hidup karena aku punya banyak uang. Kutatap tanah yang tengah kupijaki itu. Tak jauh dariku ada tengkorak yang sudah menghitam--mungkin terpapar radiasi yang kejam. Mengingatkanku akan suatu peristiwa global di bumi. Saat roket roket nuklir pertama itu mulai diluncurkan dan menggempur dengan keji, kami berlarian, yang lemah tumbang, yang kuat terseok seok.
Para politikus dunia berdebat, bahwa itu satu satunya cara menghapuskan makhluk yang mengancam kami. Tapi nyatanya, makhluk itu masih mengejar, nuklir itu menyebabkan kematian massal, di Eropa, di Afrika, Asia. Semua benua, semua tempat. mereka telah berevolusi, mereka melipatkan gandakan diri mereka. Mereka tak selemah dan sebodoh manusia.
Mereka terlalu banyak.
Nafasku tersaruk saruk saat kulihat dari ujung helmku itu ada bayangan dari jauh. Aku mencoba mengelak dari realita. Aku memang segelintir dari kaum manusia yang masih bertahan. Tapi kadang aku berpikir, sebenarnya kami bertahan dari apa?
Telingaku berdenging saat aku mulai berpaling, lalu berlari. Suara suara besi dari kejauhan itu memang sudah menjadi irama pengantar tidurku tiap hari di bumi, tapi sungguh, aku tak pernah mau tahu, bagaimana rupa yang empunya suara besi bergesekan yang menggaung itu--sang makhluk mengerikan. Pikiranku memaksa menolak kehadiran mereka, "bagaimana mungkin mereka menemukan kami lagi?"
Aku tahu, bahkan setelah manusia terakhir yang tersisa kabur dari hadapan makhluk itu, mereka akan tetap mengejar kami, bahkan saat kami lari ke tempat paling terpencil dan ganas sekalipun.
Dimulai akan kerakusan manusia akan pengetahuan yang murni, dan berakhir dengan darah dan penderitaan. Ilmuwan menjelaskan si pemilik suara besi itu, adalah mahakarya kepintaran manusia--sebuah ciptaan manusia yang cerdas. Tapi kemudian ciptaan itu mulai menghancurkan manusia setelah semakin bertambah pintar. Mereka membunuh banyak kaum kami.
Kami memanggil makhluk mengerikan itu 'robot'.
Aku masih memandang ke langit langit merah pekat yang menyeramkan. Dari jauh matahari itu tampak seratus kali lipat lebih dekat dengan kami, dibanding saat di bumi. Di hadapan mataku, semua serba merah, dari tanah, langit hingga matahari--kecuali satu--siluet hitam yang melangkah mendekat dan menciptakan gemeriap besi yang bergesekan. Tangan kehitaman besi mereka tampak sangat kokoh, mengacung, mempertontonkan kematian di todongan senapan ultraviolet mereka.
Bersiap menghabisi tiap orang orang terakhir dari kami. Menaruh kiamat itu tepat di depan mata manusia.
Di saat saat terakhirku, aku tahu, manusia takkan pernah bisa kabur dari robot yang ingin memusnahkan kami. Walaupun setelah kami kabur ke tempat yang ganas ini.
Mars.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar