Rabu, 01 Juni 2016

WHEN TWO VIRGINS MEET





Aku ingin menjerit, tapi lakban ini membekap erat mulutku.
"Aku kenal perempuan semacam kau", ucapnya sambil memainkan pisau. "Kalian semua sama saja."
Aku berusaha memberitahukan kebenaran padanya, namun ia adalah pria yang sangat kolot.
Pisau di tangannya kini hanya berjarak sejengkal dari leherku.
"Afhu fsih hrafawan!" Gumamku dengan mulut terlakban.


"Apa?"
"AFHU FSIH HRAFAWAN!"
Ia kemudian segera meraih dan melepas lakban dari mulutku.
"Aku masih perawan!" Jeritku.
Kebenaran sederhana itu membuatnya tercekat seketika. Walaupun awalnya ia tampak tak percaya.
"Periksa kontak telepon di hp-ku! Hubungi ibuku! Hubungi saudariku! Mereka tahu aku memang masih perawan!"
Ia menutup mulut dengan telapak tanganya seolah baru saja mendengar sesuatu yang amat mengerikan.
"Tapi... saat kita ngobrol sebelum ini, kau berkata bahwa kau sudah tidur dengan dua belas pria."
Aku sendiri tak mengerti kenapa aku mengatakan hal semacam itu. Mungkin karena membeberkan ketidakperawanan sedang marak di antara para sejoli yang tengah pdkt. Idiot. Ya kau benar.

Setelah mendengar pengakuanku, kegarangannya tampak mereda. Ia mulai berceloteh tentang masa lalunya. Dulu ia memiliki seorang tunangan yang sudah sejak SMA ia pacari. Mereka berdua mengikrarkan sumpah untuk selalu menjaga kesucian hingga jenjang pernikahan. Namun di malam pengantin, ia mengetahui bahwa wanita itu sebenarnya sudah 'menjajakan keperawanannya' pada beberapa pria lain. Pria itu pun sadar bahwa selama ini dirinya telah ditipu mentah-mentah, dan menjadi bahan lelucon bagi seluruh warga kota. Semenjak itulah ia mulai membunuh para wanita.
"Tapi hanya yang sudah tak perawan," ungkapnya sembari meletakkan pisau di atas meja.

Ia kemudian meminta maaf padaku.
"Jadi.. bukankah kita pasangan yang cocok!" Serunya menitikkan air mata. "Aku perjaka. Kau perawan. Aku tak dapat membunuhmu! Aku sudah salah tentangmu. Kukira gadis secantik kau pasti sudah 'melakukannya' beberapa kali."
"Aku juga merasa kita berdua cocok." Ucapku lembut.
Mungkin benar ia adalah seorang pembunuh berantai, namun ia juga hanya pria sederhana dengan harapan yang sederhana pula; yaitu untuk mencintai dan dicintai. Aku pun pernah merasakan sakitnya dikhianati sehingga aku maklum.
Aku menenangkannya.
Kemudian aku mencium keningnya.

"Aku ingin mengakui sesuatu." Ia berucap ketika melepaskan ikatanku. "Aku... ehmm... aku bukan perjaka. Sudah tidak lagi."
"Bukan masalah," jawabku. "Aku juga mau bilang kalau aku memang sudah tidur dengan dua belas pria."
"APA?!" Bentaknya, "kau berbohong kalau masih perawan!?"
"Oh aku tidak bohong soal itu," ucapku seraya menyambar pisau di atas meja lalu menghunjamkannya ke tubuh pria di hadapanku. Kudorong tubuhnya jatuh kemudian aku tidur berbaring di sampingnya. Kuamati ia meregang nyawa sementara darahnya mengalir membasahiku bak sutera merah berkilau yang membalut kulitku; sensasi yang sangat kucintai.
"Sssst..." bisikku di telinganya.
"Tidurlah bersamaku sekarang. Kau beruntung menjadi yang ke-13."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar