Kamis, 16 Juni 2016

My Wife



Masih tentang Descendants of the sun

Sebagai prajurit sejati, aku tidak pernah lupa akan cintaku kepada negara, namun kini aku juga telah membaginya kepada istriku Winona. Ia wanita yang penuh dengan kelemah-lembutan. Aku mencintainya dalam tenangnya dan ia selalu saja menatapku dengan penuh kasih.


Namun aku selalu mengkhawatirkan tentang dia yang sendirian dirumah, aku harus meninggalkan dia dan berperang. Aku tidak pernah tau kapan peluru itu menembus jantungku, namun Winona selalu percaya aku akan pulang dengan selamat.

Akhirnya tahun ini aku akan menjadi seorang Ayah. Winona hamil 3 bulan. Wajahnya tiap hari penuh dengan senyuman mawar dan aku selalu jatuh cinta akan senyumannya. Entahlah dia wanita yang selalu membuatku tergila-gila.

Pada akhirnya datang juga, Aku harus ikut perang di luar negri dan meninggalkan istriku yang kini hamil tua. Aku frustasi cukup berat. Harus bagaiamana? Aku tak bisa meninggalkan Winona sendirian. Terlebih keluarga kami yang lain juga sangat jauh.

"Pergilah, aku bisa mengurus persalinanku." Suara hangat Winona menenangkanku. Ia sungguh wanita terhebat. Aku bahkan tak pernah melirik wanita lain selain dia.

Berperang di negara lain memang sudah biasa, namun meninggalkan Winona dengan hamil tua yang tak biasa. Aku frustasi dalam diamku. Aku harus segera pulang dan bertemu dengan Winona juga anakku nanti.

Berbulan-bulan telah berlalu. Akhirnya perang telah selesai dan aku bisa pulang kenegaraku dan bertemu dengan istri juga anakku.

Sesampai dirumah, aku melihat rumah kurang dirawat. Sampah-sampah bertaburan dihalaman rumah. Terlihat banyak bunga yang mati. Apa yang terjadi? Aku mulai berjalan pelan, sangat pelan. Hingga aku berada di ambang pintu.
Aku mengetuknya.

Aku melihat Winona dengan wajah pucat dan rambut yang tak terurus. Wajah cantiknya benar-benar hilang sekarang. Aku diam tanpa berkata.

"Kau pulang? Masuklah. Anak kita sudah menunggu" Suara Winona masih terlihat lembut. Aku mencium keningnya. Badannya sangat dingin. Dingin sekali.

"Kau baik-baik saja? Ayo Kerumah sakit" Aku khawatir dengan keadaan Winona. Wajahnya sangat pucat.

"Aku baik-baik saja. Ayo lihat putramu yang tampan" Winona tersenyum pucat kepadaku.

Aku mulai masuk. Keadaan rumah sangat berantakan. Mungkin menjadi orangtua sendiri beberapa bulan tidaklah mudah. Aku mencoba tetap berfikir positif.

Diranjang kulihat anakku sedang tertidur. Aku mendekatinya. Dia sangat tampan dan dia memiliki senyuman seperti Winona tapi tetap saja, badannya sangat dingin bahkan aku tak bisa merasakan detak jantungnya.

Waktu berlalu. Aku mulai membersihkan rumah. Merapikan rumah. Membenarkan atap rumah dan dinding yang rusak. Winona masih dengan wajah pucat. Begitu juga dengan anakku Junior.

Aku memutuskan untuk pergi ke pasar membeli beberapa pangan. Di persimpangan rumah, aku bertemu dengan Bibi Dona.

"Albert, apa kabarmu? Maafkan aku yang tak sempat mengunjungi rumahmu" Bibi Dona memelukku dengan tangis.

"Tidak masalah, Bibi kau bisa datang kerumah sekarang dan melihat Juniorku semakin tumbuh besar" Aku mencoba menenangkannya.

"Junior siapa?" Wajah bibi Dona seketika berubah menjadi bingung.

"Anakku. Winona telah melahirkannya. Dia sangat tampan bibi."

"Apa maksudmu? Winona telah meninggal saat melahirkan anakmu dan anakmu juga telah mati, Albert" Suara bibi Dona gemetar. Ia mulai pucat dan merasa sedikit merinding.

"Bibi, dia dirumah sekarang."

"Tolong dengarkan aku! Dia sudah meninggal dan kau harus melihatnya" Bibi Dona menyakinkanku.

Aku berlari kerumah. Aku mencoba mencari Winona dan aku menemukannya di kamar. Aku tersenyum.
"Kufikir Bibi Dona sedikit aneh. Ia mengatakan kau telah meninggal. Mungkin dia salah orang"

Winona hanya tersenyum. Dan aku merasa di bodohi oleh Bibi Dona.

Seminggu kemudian. Pendeta Arnold singgah kerumahku dan mengatakan bahwa bibi Dona telah meninggal. Aku sedikit bergidik dalam halaman rumahku. Pendeta Arnold bingung denganku. Ia menanyakan apa aku baik-baik saja. Aku sangat bingung, hampir tiap hari orang menanyakan itu padaku.

Hingga akhirnya pendeta Arnold mulai terlihat pucat. Ia merasa ketakutan melihat Winona.

"Mengapa ia masih dirumah? Ia sudah meninggal!" Pendeta Arnold menatap Winona dengan rasa yang aneh. Seperti melihat setan.

"Apa maksudmu pak?" Aku mencoba tetap tenang. Namun wajah Winona mulai berbeda. Wajahnya seperti memerah dan ia menatap kesal kepada pendeta Arnold. Wajahnya semakin memerah. Aku tak pernah melihat wajah kebencian Winona dan ini pertama kalinya.

"Ia sudah mati, ia sudah mati." Pendeta Arnold terus berteriak.

Tiba-Tiba Pisau daging menancap dilehernya. Aku tertegun melihatnya. Aku mencoba menangkapnya. Banyak darah yang keluar.

"Apa yang kau lakukan? Kau kenapa?" Aku melihat sesuatu yang tak pernah kupercaya. Ini pertama kalinya aku melihat Winona membunuh seseorang. Bahkan memotong ikan saja Winona tak pernah tega.

"Dia! Dia telah membunuh aku dan anakmu! Dia ingin menikahkanmu dengan putrinya yang cacat itu! Dia pendeta Keji! Albert jangan sentuh dia!" Suara Winona tedengar tegas. Aku tak percaya dengan yang kudengar. Winona dibunuh? Lalu aku melihat kearah Pendeta Arnold, terlihat wajah penyesalan dan dia meregangkan nyawanya.

Aku berlari memeluk Winona. Aku menciumnya dalam tangisku. Sangat dalam. Winona memberikanku Liontin mawar. Aku menangis dalam pelukannya. Tubuhnya semakin terasa panas. Aku terus memeluknya. Aku sangat mencintainya. Sungguh aku tak bisa membayangkan hal ini terjadi. Aku masih terus menangis. Aku masih menangis. Ohh Tuhan! Kenapa ini bisa terjadi.

Winona menghilang dan aku tersungkur kaku dihalaman rumahku. Aku mencoba melawan rasa kegelapan. Namun semakin gelap dan semakin gelap hingga aku terjatuh dalam kegelapan.

Braakkkk!!!

"Sudah ibu katakan! Berhenti memasuki lemari tua itu, Albert! Sekarang pergi ke tempat pelatihan militermu! Kau harus jadi Tentara seperti perintah Ayahmu" Ibu menemukanku di lemari itu lagi. Dengan pelan aku keluar dari lemari.

Aku memeluk kaki ibuku.
"Ibu, aku tak ingin menjadi tentara, aku takut sekarang ibu" Aku mulai meneteskan air mata.

"Yaa! Itu masa depanmu, nak. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Sekarang kau tahu. Itulah yang akan terjadi padamu." Ibu memelukku sangat hangat. Namun aku masih tetap merasa kedinginan. Seharusnya aku tak pernah memasuki lemari itu. Aku melihat tangan kiriku, aku masih menggenggam Liontin Mawar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar