Kamis, 16 Juni 2016
Tormented
Grey memandangi sebuah foto di dalam bingkai tua digenggamannya. Bingkai berwarna coklat, pinggirannya sudah terkelupas cukup banyak, belum lagi kaca yang buram, meski sudah dibersihkan tetap saja seperti itu, bingkai itu dulunya tak seperti itu, Grey membelinya dalam keadaan bagus hanya saja dengan kondisi apartemen yang kurang layak, dengan beberapa sisi langit-langit yang terkadang sering bocor saat
hujan besar, cucuran air yang merambat pelan di tembok—di mana bingkai tua itu terpasang—memasuki sela-sela bingkai membuat rusak foto di dalamnya, setidaknya Grey masih bisa melihat wajah siapa yang di dalam sana.
Grey menggeser tubuhnya, membuat kursi kayu yang didudukinya berderit, menggema di dalam ruangan, sebuah kamar dengan perabotan seadanya, cat berwarna krem yang mulai pudar, lantai keramik yang retak di beberapa sisi, serta sebuah spring bed tanpa seprei, agak landai di sisi kiri, sepertinya bagain itu yang sering ditiduri Grey, karena di sisi lainnya begitu terasa dingin, seolah tak pernah lagi disentuh.
Dia masih ingat, meski ruangan brengsek itu tak senyaman hotel berbintang lima, tapi ada beberapa kisah yang membuatnya tersenyum jika mengingatnya. Dulu beberapa tahun yang lalu ... Marga—bekas kekasihnya—pernah bersamanya, tidur bersama di satu ranjang, melepaskan malam-malam mereka dengan cerita yang sulit diungkap dengan kata-kata. Grey mencintai gadis itu, tapi ... Marga ... dia selalu tak pernah puas.
***
"Grey, kau tahu?" Marga menarik napas di tengah isak tangisnya, wajahnya yang biasa terbalut make up, kini terlihat pucat, "aku selalu memimpikan pesta pernikahan yang indah. Teman-temanku, teman-teman kita, keluarga kita, semua orang terpana dan tak akan pernah melupakan pesta termewah yang pernah mereka hadiri."
Marga, gadis itu tengah terbuai sendiri dengan impian-impian mustahilnya. Grey hanya bisa menarik napas menyadari dengan pekerjaannya sekarang ini, dia merasa sepuluh tahun atau empat puluh tahun lagi dia mengumpulkan uang pun tak akan cukup memenuhi keinginan sang kekasih.
"Grey, kenapa kau diam saja?" Tangan halus Marga mengguncang bahu Grey. Dia menyingkap selimut, mengambil posisi duduk. Kepalanya dibenamkan di atas lutut. Dia menangis.
"Kau salah orang, Marga. Bukan aku yang kau cari," ujar Grey seraya menenggelamkan wajah di telapak tangannya.
*****
Aku tahu mungkin aku tak pantas baginya. Tidak, tidak, bagaimana bisa tidak pantas setelah semuanya kuberikan padanya; uang, jiwaku, bahkan raga usang yang mungkin baginya tak layak untuk bercumbu dengannya.
Kautahu ... aku memberikan segalanya pada gadis itu! Aku biarkan para lelaki juga wanita yang memakai jasaku, menyentuhku dalam nafsu erotis mereka, kautahu hanya untuk apa?! Hanya agar gadis itu bisa mendapatkan segala keinginannya.
Tapi apa yang kudapat? Aku tak dapat apa-apa selain rasa sakit yang perlahan menggerogoti, menimbulkan lubang yang semakin menganga di hati. Pun harga diri yang harusnya kujunjung tinggi sebagai seutuhnya lelaki, kini tak dapat kutemukan lagi di dalam diri ini.
Apa kau pikir aku salah, saat sesuatu yang gelap dalam diriku berusaha memberontak. Ingin mencari kepuasan lain, kepuasan yang tak pernah kudapat selama ini.
Malam itu, seorang wanita kaya istri seorang pejabat. Aku rasa dia wanita yang cukup dominan dalam keluarga, terlihat dari bagaimana caranya menguasaiku. Dia terlihat tak peduli padaku, baginya aku hanya mesin yang berfungsi membantunya mencapai kepuasan birahi.
Entah kenapa, hasrat terpendamku yang lain muncul kepermukaan, meluap begitu besar. Wanita ini, dia berhasil memancingnya. Malam itu, aku mendapatkan kepuasan yang selama ini kucari. Dia menggeliat begitu liar, irama nafasnya yang terengah begitu kunikmati. Bahkan, dia masih tampak begitu lelap ketika kutinggalkan dia sendirian di kamar. Marga sudah menjemputku.
***
Dia pergi lagi. Seperti malam-malam sebelumnya, meninggalkan sisa-sisa kenikmatan di kasur, seprei, bahkan tubuhku.
Jujur saja, aku sudah cukup bosan mendengarkan dirinya. Alih-alih dia mengatakan melakukan semuanya untukku, demi diriku, agar kami bisa menikah. Sampai kapan aku harus menunggu?
Kalian tahu? Dia pernah menjual tubuhku pada seorang pengusaha restoran terkenal di Detroit. Dia melakukan penawaran berjam-jam di sebuah bar. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, seperti kesurupan.
Di dalam sebuah kamar hotel yang cukup besar, pengusaha itu memilih sebuah kamar dengan bayaran dua ratus dollar semalam, fasilitas yang ada cukup mewah. Dia tak langsung menerkamku seperti singa kelaparan. Ruangan itu dibuatnya remang dengan hanya menyalakan lampu yang berada di atas nakas tempat tidur. Dia mengajakku bercakap-cakap di balkon, tetapi tangannya tak berhenti menggerayangi setiap lekuk tubuhku. Oh Tuhan aku merasa jijik, aku tak pernah disentuh oleh siapapun selain Grey!
Aku mengerti kenapa Grey melakukan ini, tagihan telpon, listrik, bahkan tagihan sewa ruangan kami belum terbayar, uang yang Grey dapat masih belum cukup untuk melunasi semuanya. Aku biarkan dia menjualku, aku mengerti semua kesulitan keuangan yang sedang kami hadapi. Aku melakukannya karena aku mencintainya.
Rasanya sakit, seperti kau berusaha mengiris dikit demi sedikit tubuhmu dan kau biarkan luka-luka itu menganga, dan kautaburi air asam di atasnya, itu yang kurasakan ketika pria bertubuh gempal dengan bulu dada yang begitu lebah, menyentuh tubuku dan memaksa mendorong tubuhnya ke dalam tubuhku. Aku jijik!
"Coba kaulihat, seseorang menyaksikannya," ujar lelaki gempal sembari terengah, dia menunjuk ke arah pintu.
Grey?!
Dia di sana ikut menyaksikan segalanya, dia menonton tubuhku terikat dan dipecut dari segala arah. Tubuhku sakit! Wajahku terasa panas akibat tamparan pria gila ini. Kedua mataku memerah berkaca-kaca, bibirku lebam, gemetar, aku tak mampu mengucapkan sepatah kata untuk meminta pertolongan, kau … di sana, menyaksikan segalanya.
"G-Grey," ujarku pelan seraya menatapnya berusaha menggerakkan bibir semampuku. Aku yakin bibirku terluka parah, setelah perlakuan pria bertubuh gempal itu padaku. Dia hanya menatapku dengan tatapan kosong, tak ada ekspresi berarti sama sekali. Demi uang lima ratus dollar, kau biarkan binatang ini menjajahku, kau biarkan harga diriku terluka, tapi ... Aku melakukannya untukmu, untuk kita.
****
Di balik pintu ini, dengan perasaan tersayat aku merelakanmu disentuh pria lain. Tak pernah siapapun dari kita berdua menginginkan semua ini terjadi. Tak ada seorang pria pun yang tak tersakiti dan marah melihat wanitanya diperlakukan bak seekor binatang jalang.
Ingin rasanya aku masuk ke dalam, merebut pecut, dan cambuk itu dari tangan si keparat. Tapi aku tak bisa, itu maumu. Kau yang menginginkan ini. Uang yang kita dapat dari pria itu untukmu bukan untukku.
****
Seperti seorang germo profesional aku mendatangi pengusaha restoran terkenal di Detroit. Dia beberapa hari lalu pernah mengaku tertarik padamu, menginginkan untuk memiliki tubuhmu. Aku naik pitam, emosi meledak-ledak tak bisa tertahan. Pria laknat itu menawar seorang wanita kepada pacarnya sendiri, Keparat!
Tapi kau datang menenangkanku, membawaku pergi dari tempat itu. Kita berbincang soal keinginan pria itu dan tawaran tak sopannya kepadamu. Matamu berbinar, ketika kubilang dia menawarmu lima ratus dollar. Kau bilang, itu untuk kita, untuk pernikahan kita. Kau tahu, kau telah menyakitiku, sekali lagi.
Kuturuti kemauanmu, aku menghubungi pengusaha restoran itu dan mengatur janji untuk bertemu. Aku kesampingkan harga diriku, sekali lagi. Berjam-jam kami berbincang, aku tertawa mendengar ocehannya, tawa palsu yang luar biasa tersamarkan. Menjerit hati ini, semua ini kulakukan untukmu, untuk impian tak masuk akalmu.
“Jadi, sudah deal? Kau rela kekasihmu kutiduri dan kuperlakukan semauku?” Oh … jijik sekali melihatnya tersenyum seraya memerlihatkan gigi emas yang terpasang menggantikan gigi taring miliknya, rasanya aku benar-benar ingin menghadiahkan bogem mentah ke wajahnya.
“Yeah, deal. Tapi …, aku melakukannya karena dia yang memintaku untuk menyetujui rencana gila ini, jika bukan karena dia yang memaksaku, maka aku tak akan pernah menurutinya. Aku … tidak akan pernah menjual tubuh kekasihku sendiri, meski—“
“Grey … sudah cukup basa-basinya. Ini uangmu, ambil dan pulanglah!”
Lelaki itu membayarkan sejumlah uang, kemudian berlalu dari hadapanku. Kau puas, Marga? Ini yang kau inginkan, bukan?
****
‘Wanita-wanita serta pria-pria menyimpang, yang meniduri Grey begitu bodoh dan polos, terpikat dengan mudah oleh ketampanan dan tubuh berotot serta kekar milik Grey. Mereka bahkan tak sadar jika di balik semuanya, seorang iblis menanti mereka. Aku menyaksikan mereka bercumbu. Aku tak cemburu? Tentu saja tidak, itu yang aku inginkan, uang!
Kautahu, Grey itu terkadang begitu bodoh, dengan mudahnya percaya jika aku mencintainya, hanya bermodalkan airmata, dia selalu luluh dan kembali tunduk padaku. Huh … bertahun-tahun bersamanya, sedikit membosankan, jika saja aku tak membutuhkan uang, uang, dan uang, mungkin aku sudah lama meninggalkannya, melacurkan diriku di Park Avenue, di mana sebuah rumah bordir terkemuka sering mencari gadis-gadis cantik untuk dijual di sana melayani nafsu birahi pria-pria hidung belang yang mudah ditipu daya dengan bayaran sangat tinggi. Tapi … satu hal yang membuatku tak bisa lari darinya, tak ada yang bisa melawan stamina dan ketangguhannya di ranjang, bahkan bisa membuatmu lupa daratan.
Beberapa bulan ini, sepertinya Grey mulai menikmati permainan baru yang kuberikan sebagai sentuhan akhir ketika dia dan para pembeli kenikmatan itu hampir selesai bercumbu. Aku … membunuh mereka di depan mata Grey, awalnya Grey terkejut. Hahaha … lucu sekali, melihatnya ketakutan, tapi setelah kujelaskan, sepertinya dia mengerti, dan semakin menikmatinya. Tunggu …, kalian pasti akan bertanya untuk apa aku melakukannya? Tentu saja untuk mengambil seluruh isi dompet, perhiasan, dan barang lainnya, bodoh! Uang seratus atau dua ratus tak cukup membiayai kebutuhanku!
Oh, sudah jam satu malam, Grey belum pulang. Peduli setan, setidaknya nanti jika dia pulang, dia akan membawa uang lebih untukku. Malam ini saja, aku malas membunuh mereka. Biarkan mereka menikmati kebebasan mereka, uangku masih cukup untuk beberapa hari ke depan. Kalian tanya, apa polisi tak curiga dengan serentetan kejadian pembunuhan yang terjadi? Tentu saja mereka curiga, pertanyaan kalian terlalu aneh. Mana ada pembunuh selamanya bisa bebas! Tapi …, sekalipun nanti tertangkap, aku tak peduli, setidaknya sudah cukup aku bersenang-senang karena ….’
“Kau … sejak kapan?”
"Sejak kau menulis dari halaman pertama, aku sudah membacanya. Aku sudah pulang sejak tadi, tetapi kau tak sadar karena aku membuka pintu apartemen dengan sangat pelan, aku tak ingin kau mengetahuinya. Aku hanya ingin tahu, seberapa besar kau menghargai aku. Kaukira, aku tak pernah membaca isi dari buku harian milikmu? Kau pikir aku terlalu masa bodoh dan mempercayaimu begitu saja? Awalnya memang aku mempercayaimu sepenuh hati, berusaha mengabulkan segalanya, bahkan memberikan harga diriku pada mereka, budak-budak haus nafsu. Aku membiarkanmu membunuh mereka di depan mataku, melucuti harta mereka, aku tak pernah melarangmu, karena aku berpikir, kau akan bahagia. Aku berusaha memberikan kebahagiaan padamu. Tapi malam ini, Sayang, aku sudah tak kuat, kita akhiri saja permainan ini.”
“Tidak, kau tidak akan membunuhku!”
Mata Grey lain dari biasanya, menyalang, berkilat, seolah iblis sedang menguasainya. Tidak, ini tak bisa dibiarkan aku—
“Pisau yang biasa kau gunakan sudah tak ada di laci,” Grey mengangkat satu tangannya. Pisau itu sudah berpindah padanya?!
“Kau tidak akan mungkin membunuhku!”
“Semuanya mungkin terjadi.” Masih dengan kalem dia menjawab setiap kalimatku. “Kemarilah, Sayang.”
****
‘Sekarang, biar aku yang menyelesaikan semua kisah yang ditulis Marga. Semuanya sudah berakhir, beberapa menit lagi, polisi akan menemukan dan menangkapku. Aku membunuhnya, aku membunuh Marga, aku membunuh gadis yang kucintai. Semua sama sekali tak ada dalam rencanaku untuk membunuhnya, tapi … dadaku merasa sakit membaca semua curhatan yang ditulisnya ke dalam buku harian. Sebenarnya, pisau lipat itu tak sengaja terbawa olehku. Kait yang ada pada pisau lipat tersangkut pada kunci motor yang kumasukkan ke dalam tas, aku sama sekali tak tahu jika aku membawa pisau lipat tersebut.
Maafkan aku, Marga. Aku bukan pria yang baik untukmu, iblismu tampaknya bertekuk lutut padaku. Tapi …, aku berjanji kenangan kita tak akan pernah kulupakan. Well, suara kasak-kusuk sudah terdengar di depan pintu, aku yakin para polisi sudah menjemputku. Tubuhmu masih sama indahnya seperti sebelumnya, masih sangat seksi, tapi … aku sudah tak tertarik lagi, aku tak mau bersetubuh dengan mayat.
Terdengar suara pintu dibuka dengan sebuah tendangan, sepertinya polisi-polisi itu sudah siap membawaku menuju perjalanan hidupku yang baru, bukan lagi sebagai seorang pelacur laki-laki, aku akan menyandang predikat baru ‘PEMBUNUH’, ya itu yang akan kusandang setelah ini.’
“Berdiri! Angkat kedua tanganmu, kemudian merapat di tembok!”
Selamat tinggal, Marga. Tapi aku berjanji, aku akan kembali ke apartemen ini, aku akan menyuruh pengelola apartemen untuk tak menyewakannya kepada yang lain. Tentu saja dia akan mendengarkanku, karena sudah pasti kamar ini akan disegel oleh polisi, jadi tak akan ada yang mau menyewa setelahnya, selain aku. Kautahu … sampai saat ini pun, aku masih mencintaimu.
-Tamat-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar